Sabtu, 24 September 2022
Senin, 12 September 2022
Area pesarean R Nganten Moetardiati (garwo ke-1 R. Hadiwidjaja)
Area pesarean R Nga Moetardiati di pemakaman kelurahan Ngadisimo kota Kediri jl. Imam Bonjol (masyarakat kota Kediri menyebut pemakaman Boto Putih Ngadisimo kota Kediri).
Terdapat juga pesarean dimakamkan saudara dan famili dekat R. Nga Moetardiati juga putra barep R. Soewoso Muhasidiq & istrinya, ada juga beberapa anak dan putra mantu lain dalam satu kelompok di pemakaman tersebut
RENOVASI MASJID DARUL JALAAL NGADILUWIH KEDIRI
LINTAS KEDIRI (Ngadilangkung)
Bukan rekayasa, hasil jepretan siang.
Menarik angka 2 & 4 (mengacu hajat bangsa Indonesia tahun 2024), secara kebetulan sedang melintasi sebuah renovasi masjid lawas Daarul Jalaal.
Ada fenomena menarik juga pakaian yang kebetulan dikenakan dominan berwarna #biru dan #hijau.
Kamis, 28 Juli '22 (09:02)
Monggo menawi engkang derek beramal sedekah.
REUNI KELUARGA BESAR RH HADIWIDJAJA DI DOKO KEDIRI
Reuni keluarga besar R H Hadiwidjaja bertempat di keluarga besar R Suyanto/R Suyadi bin RH Hadiwidjaja, di Doko Kediri (rumah sdr/i. Riko/Hesti)
Senin, 07 Desember 2020
KIDUNG LINGSIR ING WENGI
KIDUNG LINGSIR ING
WENGI
(Karya asli Sunan Kalijogo / R. Said)
Meniko release mocopat Kidung Lingsir Ing Wengi versi suguhan gubahan tampilan yang update zaman.
LIRIK
KIDUNG RUMEKSO ING WENGI
1. Ana kidung rumekso ing wengi
2. Teguh hayu luputa ing lara
3. Luputa bilahi kabeh
4. Jim setan datan purun
5. Paneluhan tan ana wani
6. Niwah panggawe ala
7. Gunaning wong luput
8. Geni atemahan tirta
9. Maling adoh tan ana ngarah ing mami
10. Guna duduk pan sirno
Artinya : Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setan pun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuri pun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.
11. Sakehing lara pan samya bali
12. Sakeh ngama pan sami mirunda
13. Welas asih pandulune
14. Sakehing braja luput
15. Kadi kapuk tibaning wesi
16. Sakehing wisa tawa
17. Sato galak tutut
18. Kayu aeng lemah sangar
19. Songing landhak guwaning
20. Wong lemah miring
21. Myang pakiponing merak
Artinya : Semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh di besi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.
22. Pagupakaning warak sakalir
23. Nadyan arca myang segara asat
24. Temahan rahayu kabeh
25. Apan sarira ayu
26. Ingideran kang widadari
27. Rineksa malaekat
27. Lan sagung pra rasul
28. Pinayungan ing Hyang Suksma
28. Ati Adam utekku baginda Esis
29. Pangucapku ya Musa
Artinya : Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua selamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku Nabi Sis. Ucapanku adalah Nabi Musa.
30. Napasku nabi Ngisa linuwih
31. Nabi Yakup pamiryarsaningwang
32. Dawud suwaraku mangke
33. Nabi brahim nyawaku
34. Nabi Sleman kasekten mami
35. Nabi Yusuf rupeng wang
36. Edris ing rambutku
37. Baginda Ngali kuliting wang
38. Abubakar getih daging Ngumar singgih
39. Balung baginda ngusman
Artinya : Nafasku Nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakub pendengaranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi rupaku. Ali sebagai kulitku. Abu Bakar darahku dan Umar dagingku. Sedangkan Usman sebagai tulangku.
40. Sumsumingsun Patimah linuwih
41. Siti aminah bayuning angga
42. Ayup ing ususku mangke
43. Nabi Nuh ing jejantung
44. Nabi Yunus ing otot mami
45. Netraku ya Muhammad
45. Pamuluku Rasul
46. Pinayungan Adam Kawa
47. Sampun pepak sakathahe para nabi
48. Dadya sarira tunggal
Artinya : Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Aminah sebagai kekuatan badanku. Nanti Nabi Ayub ada di dalam ususku. Nabi Nuh di dalam jantungku. Nabi Yunus di dalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.
Senin, 16 November 2020
WAHYU MAHKUTHA RAMA
WAHYU MAHKUTHA RAMA
Dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA
yang artinya HASTA adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi
HASTABRATA adalah merupakan 8 pedoman ilmu standard perilaku manusia dalam
leadership & Manajemen. Sekilas kacarita HASTABRATA telah di-wejangkan oleh
Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan
menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung).
Yang kedua oleh Raden Regowo juga
(Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan
menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Sindelo bergelar Prabu
Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko).
Yang ketiga Sri Bathara Kresna (Titisan
Bhatara Wisnu) dari Dworowati mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita
Wahyu Makutoromo) Raden Arjuna, sbg penengah Pendawa yang telah menjalani
“Perilaku” prihatin dengan cara bertapa.
Dikatakan bahwa ke-delapan unsur alam
semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan
masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa dgn
implementasi prinsip2 hukum alamiah.
Asta Brata adalah delapan prinsip
kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:
1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi).
Seperti halnya
bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan
hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan
memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan
segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.
2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat
air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang
pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan
riil rakyatnya. Rakyat akan merasa
sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu
diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam
membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin,
tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas
yang diembannya sendirian.
3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin).
Seperti halnya
sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa
pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan
bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan)
4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan).
Seperti sifat
bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya
dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak
menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena
aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.
5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari).
Seperti sifat
matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat.
Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi
atas masalah yang dihadapi rakyatnya.
6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra).
Seperti sifat
lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari
segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai.
Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan
ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan,
dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih
sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.
7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung).
Seperti sifat
gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki
keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela
kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus
memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang
pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi
yang dapat menyuburkan tanah.
8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api).
Seperti sifat
api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan
membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan
memberikan perlindungan kepada rakyatnya.
WAHYU
Bagi sebagian masyarakat Jawa masih
banyak yang beranggapan bahwa wahyu adalah wujud kelimpahan rahmat dan
pencerahan Tuhan kepada seseorang, sehingga orang yang mendapatkan wahyu atau
kewahyon dapat dikatakan hidupnya akan berhasil secara lahir dan batin. Dengan
demikian wahyu dimaknai sebagai tanda perubahan seseorang mengarah kepada
kebaikan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang juga berguna bagi kesejahteraan
orang banyak. Untuk mencapai semua itu, manusia Jawa biasanya melakukan laku
batin antara lain; bertapa, berpuasa, mengurangi tidur, berpantang, atau
mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan masih banyak yang lainnya.
1.
Pada
khalayak ramai muncul beragam pendapat tentang makna wahyu. Harun Nasution
dalam bukunya Filsafat Agama mengartikan wahyu sebagai suatu kebenaran yang
datangnya langsung dari Tuhan kepada salah seorang dari hamba-Nya. Dengan kata
lain, wahyu terjadi karena adanya komunikasi antara Tuhan dan manusia (1979:
21). Wahyu juga berarti kemuliaan Illahi, keuntungan, kejayaan (Sastro
Amidjojo, 1964: 112).
2.
R.S.
Subalidinata dalam GATRA Majalah Warta Wayang no.6 th. 1985 memberikan pengertian tentang wahyu sebagai berikut : Wahyu
adalah pulung nugrahaning Allah (kebahagiaan anugerah Tuhan), wahyuadalah
Wedharing Allah menggahing prakara gaib (keterangan Tuhan mengenai perkara
gaib). Kebanyakan orang menganggap wahyu sama dengan pulung. Ketiban wahyu
(kejatuhan wahyu) sering dikatakan ketibaban pulung. Pulung tidak lain
anugerah, keuntungan, kebahagiaan atau kemuliaan (1985: 13).
3.
Menurut
Sri Mulyono dalam Wayang dan Filsafat Nusantara, wahyu adalah “sabda sejati”,
dengan demikian wahyu ini tidak berujud benda, tetapi berujud ajaran-ajaran,
petunjuk-petunjuk atau dalil-dalil dari Sang Hyang Wisesa Jati (1982: 54).
Wahyu merupakan suatu anugerah dari Tuhan untuk umat pilihan-Nya dan bukan
bersifat kebendaan atau keduniawian namun bersifat kerohanian (Tristuti,
wawancara 11 Agustus 2003).
4.
Menurut
Hardo Suti, seorang dalang di daerah Wonogiri memberikan makna wahyu sebagai
berikut: “Wahyu menika setu-setunggaling bab ingkang digayuh bisa gawé kasembadaning
karep. Ingkang dipun wastani ingkang sampun kewahyon menika tegesé wis kecekel
kekarepané” (wawancara 31 Juli 2003).
Terjemahan: Wahyu
merupakan sesuatu hal yang dicari agar bisa tercapai tujuannya. Yang dimaksud
sudah kewahyon berarti sudah tercapai cita-citanya.
5.
Dalam
dunia mitos Jawa ada sebagian golongan mempercayai bahwa wahyu itu memang ada
dan berujud. Fenomena tersebut dapat
kita lihat dalam cerita-cerita rakyat atau dalam babad tanah Jawa yang
menggambarkan turunnya wahyu berupa seberkas cahaya terang dan kemudian jatuh
lalu menyatu dalam tubuh seseorang yang sedang melakukan tapa brata atau
semedi.
6.
Menurut
Kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Arok sejak bayi tubuhnya bersinar, dikatakan
ia telah memperoleh wahyu keprabon (wahyu raja). Dalam Babad Mataram
diceritakan bahwa Panembahan Senopati di waktu tidur ada benda yang bersinar
sebesar kelapa jatuh didekatnya. Ini pertanda bahwa Penembahan Senopati telah
mendapat wahyu. Raden Bagus Burhan atau yang lebih kita kenal dengan nama R.
Ng. Ronggowarsito, seorang pujangga besar dari Kraton Surakarta ketika waktu
kecilnya sedang tapa kungkum (bertapa dengan cara berendam dalam air) ada
seberkas sinar menghampirinya, dikatakan ia mendapat wahyu (Subalidinata 1985:13).
7.
Menurut
Toto Atmodjo, di kalangan orang tua dahulu mempercayai jika ada seberkas cahaya
berwarna biru yang turun dari langit ada waktu malam disebut wahyu (wawancara
31 Juli 2003). R.M. Sajid dalam bukunya Bauwarna Kawruh Wajang, jilid 2 menerangkan
bahwa wahyu berwarna putih kehijauan yang merupakan campuran dari mutiara, emas
dan perak.
8.
Masih
berkaitan dengan kepercayaan tentang wujud wahyu, Naryacarita dalang senior
dari Kartasura, Sukoharjo menuturkan pengalaman pribadinya sebagai berikut “aku
wis tau mlaku-mlaku ki weruh kaya bulan, gedhene padha karo bulan,
glundhung-glundhung mubeng ngéné. Dadi jenengé wahyu. Sapa lé arep ketiban”
(wawancara 30 Agustus 2003).
Terjemahan: Saya
pernah berjalan-jalan melihat seperti bulan, besarnya seukuran bulan, berputar
menggelinding seperti ini. Itu namanya wahyu. Siapa yang akan kejatuhan
(mendapatkannya).
9.
Menurut
Suwardi Endraswara dalam Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa mengklasifikasikan wujud wahyu menjadi 3 macam,
yaitu: (a) wahyu nurbuwah, yaitu wahyu keraton. Wahyu ini akan menandakan siapa
yang kuat menjadi raja. Namun hal ini juga bisa dikiaskan sebagi bentuk
kekuasaan, atau dengan kata lain siapapun yang mendapatkan wahyu jenis ini akan
mendapatkan kedudukan tertentu; (b) wahyu kukumah, yaitu berupa cahaya berwarna
kuning keemasan sebagai wahyu bagi seseorang yang akan menjadi raja yang adil
paramarta; (c) wahyu wilayah, yaitu wahyu yang diterima oleh seorang wali. Jika
menerima wahyu ini, ia berhak menyebarkan wahyu Tuhan (2006:270-271)
10. Dari berbagai
cerita yang berkembang di masyarakat tadi dapat kita simpulkan bahwa wahyu
menurut anggapan umum hanya bertempat pada “orang-orang pilihan”. Berkaitan
dengan hal itu Subalidinata dalam salah satu tulisannya mengemukakan bahwa di
kalangan umum menganggap wahyu itu sesuatu yang luar biasa, tidak dimiliki oleh
sembarang orang (tokoh cerita). Wahyu hanya bertempat pada orang yang jujur,
murah hati, suci. Sebaliknya tidak mau bertempat pada orang yang sombong,
angkuh, tamak dan sebagainya (Subalidinata, 1985: 20).
11. Dari
keanekaragaman pendapat tentang wahyu tersebut di atas kita tidak dapat menyalahkan
pendapat si A maupun si B atau menganggap pendapat si C yang benar. Namun
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa wahyu merupakan sebuah konsep yang
mengandung pengertian suatu karunia, anugerah, mukjizat dari Tuhan untuk
kebahagiaan umat-Nya.
12. Setelah sekilas
mengupas makna wahyu, selanjutnya penulis akan mencoba mengupas makna harfiah
dari Makutharama itu sendiri. Menurut Sri Mulyono dalam buku Wayang dan
Filsafat Nusantara mengartikan “makutha” sebagai suatu simbol atau status
kewibawaan kerajaan dan kekuasaan duniawi, sedangkan “rama” diartikan sebagai
Wisnu. Dengan demikian menurut Sri Mulyono, Wahyu Makutharama merupakan ajaran
kepemimpinan dari Dewa Wisnu (1982: 54-55). Pendapat yang senada disampaikan
oleh Timbul Hadi Prayitno seorang dalang senior dari Yogyakarta yang
pendapatnya dikutip oleh Mas’ud Toyib dalam Majalah Pedalangan dan Pewayangan
CEMPALA edisi Maret 1997 yang menyebutnya dengan lakon Wahyu Sri Makutharama.
Kata “sri” memperkuat pengertian ratu/raja (pemimpin). Wahyu Sri Makutharama
mengandung arti ajaran kepemimpinan (1997: 7). Tristuti Rahmadi Suryo Saputro
berpendapat bahwa makutha adalah pengagemaning narendra (pakaian raja)
sedangkan Rama adalah nama seorang raja di Pancawati. Dengan demikian
Makutharama memiliki makna suatu wujud dari angger ugering keprabon
(garis-garis besar kepemimpinan) yang pernah dipakai oleh Prabu Rama dan karena
begitu mulianya ajaran tersebut sehingga derajadnya disamakan dengan wahyu
(wawancara 3 Desember 2003).
Sementara itu Naryacarita
mengartikan Makutharama sebagai berikut:
13. Makutharama kuwi
tegesé ngéné, makutha ki agem-agemaning Rama. Rama nalika dhèwèké dadi ratu,
kuwi dadi piwulang njut dadi ASTABRATA kaé,
dadi lé diarani Makutharama ki agem-agemané Rama nalika dadi Ratu”
(wawancara 30 Agustus 2003). Terjemahan: Makutharama itu artinya begini,
makutha adalah pakaian (pegangan) Rama sewaktu bertahta, itu menjadi sebuah
ajaran kemudian menjadi ASTABRATA, jadi yang dimaksud Makutharama itu merupakan
pegangan (ajaran) Rama sewaktu menjadi raja.
14. Siswa Harsaya
dalam Serat Wahju Makutharama (Hasta Brata Kawedhar) Sinawung Sekar Matjapat
pupuh ke 16 pada Sekar Sinom menyebutkan: Wruhanta iku kerasan, pamoré tembung
tri warni; Wahju Makutha lan Rama, lungguhé sawidji-widji, wahju iku kang dadi
jekti, kanugrahaning Hyang Agung, Makutéku; busana, agemé para Narpati, kang
pinundhi dumunung anèng Makutharama iku karepira; Rama Widjaja sang Adji, ija
Sri Bathara Rama, Naréndra ing Pantjawati, ing Ngajodya nagari, kang samengka
sang prabu wus, murud ing kasuwargan, malaj kabaré manitis, mring Sri Kresna
naranata ing Dwaraka.
15. Dadi surasaning
kata, Wahju Makutharamaki, jéku nugrahaning suksma, kang anggung pinundi-pundi,
Rama Widjaja Adji, nalika djumeneng ratu, puwara Prabu Rama, djumeneng
Sunarapati, kontap ing rat dadya darsananing djagad (Siswo Harsojo, 1960). Terjemahan
secara bebas: Ketahuilah bahwa makna dari tiga kata; wahyu, makutha dan rama.
Masing-masing mempunyai makna sendiri-sendiri. Wahyu adalah anugerah dari
Tuhan, Makutha adalah busana raja yang dikenakan di kepala.
16. Rama maksudnya
adalah Sang Prabu Rama Wijaya disebut juga Sri Bathara Rama seorang raja di
Pancawati dari negara Ayodya yang telah wafat dan menurut berita telah menitis
kepada Sri Kresna raja Dwaraka.
17. Jadi makna kata
wahyu Makutharama adalah anugerah dari Tuhan yang sangat dihormati oleh Prabu
Rama Wijaya ketika bertahta dengan gelar Prabu Rama yang terkenal dan menjadi
suri tauladan di dunia.
Dari kutipan di atas jelas dikatakan
bahwa secara harfiahnya Wahyu Makutharama adalah mahkota dari Sri Rama raja di
Pancawati. Dengan beberapa analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Wahyu
Makutharama mengandung pengertian sebuah anugerah yang berupa ilmu pengetahuan
(ajaran-ajaran) tentang watak/konsep-konsep tentang kepemimpinan yang pernah
diterapkan oleh Prabu Rama Wijaya pada jaman siklus cerita Ramayana.
Rabu, 11 November 2020
GELAR KEBANGSAWAN JAWA
Gelar kebangsawan Jawa
Dulu, gelar kebangsawan banyak membuat
orang lain iri karena dengan gelar itu mereka mendapatkan keistimewaan.
Mungkinkah orang yang bukan keturunan
raja bisa mendapatkan gelar kebangsawanan?
Julius Pour menuliskannya dalam Setiap
Orang Bisa Memiliki Gelar Raden dalam Majalah Intisari edisi November 1974,
seperti berikut ini.
Ada berbagai macam gelar dipergunakan
orang, dalam lingkungan kerabat kerajaan Jawa.
Sebagian diantara gelar tersebut
meniunjukkan jabatan mereka dalam pemerintahan keraton, Sisanya menunjukkan
tingkatan pemiliknya dalam urutan daftar keluarga Raja.
Bagaimana pun juga, gelar yang dimiliki
seseorang akan menentukan tempat duduk mereka dalam protokol keraton, ketika
menghadap Raja.
Yang umum dan banyak sekali pemakainya,
karena merupakan gelar bangsawan terrendah, adalah “Raden". Mereka yang
menaruh “Raden” dimuka nama aslinya menunjukkan, sang pemilik masih merupakan
keturunan langsung dari seorang Raja Jawa atau seorang Wali (penyebar agama
Islam kepulau Jawa, pertama kali).
Gelar kebangsawanan Jawa pada umumnya diberikan kepada masyarakat keraton dan orang-orang di luar keraton yang dianggap berjasa kepada keraton. Seorang raja di kerajaan Mataram biasanya memiliki beberapa orang istri/selir (garwa ampeyan) dan seorang permaisuri/ratu (garwa padmi). Dari beberapa istrinya inilah raja tersebut memperoleh banyak anak lelaki dan perempuan di mana salah satu anak lelakinya akan meneruskan takhtanya dan diberi gelar putra mahkota. Sistem pergantian kekuasaan yang diterapkan biasanya adalah primogenitur lelaki (bahasa Inggris: male primogeniture) di mana anak lelaki tertua dari permaisuri berada di urutan teratas disusul kemudian oleh anak lelaki permaisuri lainnya dan setelah itu anak lelaki para selir.
A. Gelar Kasunanan
Gelar yang dipakai di Kasunanan Surakarta antara
lain :
1.
Penguasa
Kasunanan: Sahandhap Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana Senapati-ing-Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Jumeneng
Kaping ... ing Nagari Surakarta Hadiningrat (SISKS)
2.
Permaisuri
Susuhunan Pakubuwana: Gusti Kanjeng Ratu (GKR), dengan urutan :
a.
Ratu
Kilen (Ratu Barat)
b.
Ratu
Wetan (Ratu Timur)
c.
Selir
Susuhunan Pakubuwana: Kanjeng Bendara Raden Ayu (KBRAy), dengan urutan :
1)
Bendara
Raden Ayu
2)
Raden
Ayu
3)
Raden
4)
Mas
Ayu
5)
Mas
Ajeng
6)
Mbok
Ajeng
3.
Pewaris
takhta Kasunanan (putra mahkota): Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku
Negara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram. (KGPAA)
4.
Anak
lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden Mas
(GRM)
5.
Anak
lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika sudah dewasa: Kanjeng Gusti
Pangeran Harya (KGPH), dengan urutan :
a.
Mangku
Bumi
b.
Bumi
Nata
c.
Purbaya
d.
Puger
6.
Anak
lelaki dari selir ketika masih muda: Bendara Raden Mas (BRM)
7.
Anak
lelaki dari selir ketika sudah dewasa: Bendara Kanjeng Pangeran (BKP)
8.
Cucu
lelaki dari garis pria: Bendara Raden Mas (BRM)
9.
Cicit
lelaki dan keturunan lelaki lain dari garis pria: Raden Mas (RM)
10. Anak perempuan
dari permaisuri ketika belum dinikahkan: Gusti Raden Ajeng (GRA)
11. Anak perempuan
dari permaisuri ketika sudah dinikahkan: Gusti Raden Ayu (GRAy)
12. Anak perempuan
tertua dari permaisuri ketika sudah dewasa: Gusti Kanjeng Ratu (GKR), dengan
urutan :
a.
Sekar-Kedhaton.
b.
Pembayun.
c.
Maduratna.
d.
Bendara.
e.
Angger.
f.
Timur.
13. Anak perempuan
dari selir ketika belum dinikahkan: Bendara Raden Ajeng (BRA)
14. Anak perempuan
dari selir ketika sudah dinikahkan: Bendara Raden Ayu (BRAy)
15. Anak perempuan
tertua dari selir ketika sudah dewasa: Ratu Alit
16. Cucu perempuan
dan keturunan perempuan lain dari garis pria, sebelum dinikahkan: Raden Ajeng
(RA)
17. Cucu perempuan
dan keturunan perempuan lain dari garis pria, sesudah dinikahkan: Raden Ayu
(RAy)
B. Gelar Kesultanan
Gelar yang dipakai di Kesultanan Yogyakarta Penguasa
Kesultanan :
1.
Ngarsa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana
Senopati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang
Jumeneng kaping ... ing Ngayogyakarta Hadiningrat (ISKS, pra Sabdaraja)
2.
Ngarsa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengkubawana Ingkang Jumeneng
Ka-... Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawono, Langgeng,
Langgeng ing tata Panatagama (ISSS, pasca Sabdaraja)
3.
Permaisuri
Sultan Hamengkubuwana: Gusti Kanjeng Ratu (GKR)
4.
Selir
Sultan Hamengkubuwana: Kanjeng Bendara Raden Ayu (KBRAy)
5.
Pewaris
takhta Kesultanan (putra mahkota): Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA)
Hamengku Negara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram
6.
Anak
lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden Mas
(GRM)
7.
Anak
lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika sudah dewasa: Gusti Bendara
Pangeran Harya (GBPH)
8.
Anak
lelaki dari selir ketika masih muda: Bendara Raden Mas (BRM)
9.
Anak
lelaki dari selir ketika sudah dewasa: Bendara Pangeran Harya (BPH)
10. Cucu lelaki dan
keturunan lelaki lain dari garis pria: Raden Mas (RM)
11. Anak perempuan
dari permaisuri ketika belum dinikahkan: Gusti Raden Ajeng (GRA)
12. Anak perempuan
dari permaisuri ketika sudah dinikahkan: Gusti Raden Ayu (GRAy)
13. Anak perempuan
tertua dari permaisuri ketika sudah dewasa: Gusti Kanjeng Ratu (GKR)
14. Anak perempuan
dari selir ketika belum dinikahkan: Bendara Raden Ajeng (BRA)
15. Anak perempuan
dari selir ketika sudah dinikahkan: Bendara Raden Ayu (BRAy)
16. Cucu perempuan
dan keturunan perempuan lain dari garis pria, sebelum dinikahkan: Raden Ajeng
(RA)
17. Cucu perempuan
dan keturunan perempuan lain dari garis pria, sesudah dinikahkan: Raden Ayu
(RAy)
C. Gelar Pakualaman
Gelar yang
dipakai di Kadipaten Pakualaman hampir seluruhnya sama dengan Kesultanan
Yogyakarta karena secara historis merupakan pecahan keluarga dari Yogyakarta
Hadiningrat. Seperti juga Mangkunegaran, kedudukan penguasa Pakualaman tidak
sejajar dengan Sultan/Raja.
1.
Penguasa
Paku Alaman: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam Kaping ...
2.
Permaisuri
Raja Paku Alam: Kanjeng Bendara Raden Ayu (KBRAy)
3.
Selir
Raja Paku Alam: Bendara Raden Ayu (BRAy) atau Raden Ayu (RAy)
4.
Pewaris
takhta Paku Alaman (putra mahkota): Bendara Pangeran Harya Suryadilaga
5.
Anak
lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Bendara
Raden Mas (GBRM)
6.
Anak
lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika sudah dewasa: Kanjeng
Pangeran Harya (KPH)
7.
Anak
lelaki dari selir ketika masih muda: Raden Mas (RM)
8.
Anak
lelaki dari selir ketika sudah dewasa: Bendara Raden Harya (BRH)
9.
Cucu
lelaki dan keturunan lelaki sampai generasi ketiga dari garis pria: Raden Mas
(RM)
10. Keturunan lelaki
setelah generasi keempat lain dari garis pria: Raden
11. Anak perempuan
dari permaisuri ketika belum dinikahkan: Gusti Bendara Raden Ajeng (GBRA)
12. Anak perempuan
dari permaisuri ketika sudah dinikahkan: Gusti Bendara Raden Ayu (GBRAy)
13. Anak perempuan
dari selir ketika belum dinikahkan: Bendara Raden Ajeng (BRA)
14. Anak perempuan
dari selir ketika sudah dinikahkan: Bendara Raden Ayu (BRAy)
15. Cucu perempuan dan
keturunan perempuan lain dari garis pria, sebelum dinikahkan: Raden Ajeng (RA)
16. Cucu perempuan
dan keturunan perempuan lain dari garis pria, sesudah dinikahkan: Raden Ayu
(RAy)
D. Gelar Mangkunagaran
Gelar yang
dipakai di Praja Mangkunagaran di Surakarta hampir sama dengan Kasunanan
Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Perbedaannya adalah pada gelar
penguasa dari Mangkunegaran yang tingkatannya berada dibawah Sultan/Raja,
sebagaimana tercantum dalam isi Perjanjian Giyanti yang mendasari kelahirannya.
1.
Penguasa
Mangkunagaran: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangku Negara Senapati ing
Ayuda Kaping ... (KGPAA)
2.
Permaisuri
Raja Mangkunagara: Kanjeng Bendara Raden Ayu (KBRAy)
3.
Selir
Raja Paku Mangkunagara: Bendara Raden Ayu (BRAy) atau Raden Ayu (RAy)
4.
Pewaris
takhta Mangkunagaran (putra mahkota): Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwadana
5.
Anak
lelaki selain putra mahkota dari permaisuri: Gusti Raden Mas (GRM)
6.
Anak
lelaki dari selir: Bendara Raden Mas (BRM)
7.
Cucu
lelaki dan keturunan lelaki sampai generasi ketiga dari garis pria: Raden Mas
(RM)
8.
Keturunan
lelaki setelah generasi keempat lain dari garis pria: Raden
9.
Anak
perempuan dari permaisuri ketika belum dinikahkan: Gusti Raden Ajeng (GRA)
10. Anak perempuan
dari permaisuri ketika sudah dinikahkan: Gusti Raden Ayu (GRAy)
11. Anak perempuan
dari selir ketika belum dinikahkan: Bendara Raden Ajeng (BRA)
12. Anak perempuan
dari selir ketika sudah dinikahkan: Bendara Raden Ayu (BRAy)
13. Cucu perempuan
dan keturunan perempuan lain dari garis pria, sebelum dinikahkan: Raden Ajeng
(RA)
14. Cucu perempuan
dan keturunan perempuan lain dari garis pria, sesudah dinikahkan: Raden Ayu
(RAy)
E. Gelar lain
Selain beberapa
gelar tersebut di atas, di lingkungan keraton sering juga dijumpai sebutan
khusus seperti :
1.
Sekarkedhaton
(untuk menyebut putri sulung permaisuri)
2.
Sekartaji
(untuk putri kedua)
3.
Candrakirana
(untuk putri ketiga)
4.
Putra
tertua dari seluruh Garwa Ampeyan bergelar Bendara Raden Mas Gusti dan akan
berubah menjadi Gusti Pangeran setelah diangkat menjadi pangeran. Sedangkan
putri tertua dari seluruh Garwa Ampeyan bergelar Bendoro Raden Ajeng Gusti dan
akan berubah menjadi Pembayun setelah menikah. Khusus untuk putri sulung
(tertua) dari Garwa Ampéyan mendapat gelar Kanjeng Ratu.
5.
Beberapa
gelar yang diberikan/dianugerahkan/diturunkan baik oleh trah Kesultanan,
Kasunanan, Pakualaman atau Mangkunegaran memiliki beberapa karakteristik khas
yang terdiri dari gelar turunan (darah) dan istimewa. Gelar-gelar yang telah
anda baca di atas merupakan gelar-gelar turunan hanya sampai generasi ketujuh
saja. Untuk generasi selanjutnya (8 sampai ...), bagi putra mendapatkan gelar
Raden (R.) dan/atau Raden Bagus (RB.) dan bagi putri gelarnya Rara (Rr.). Gelar
tersebut berlaku sampai generasi ke berapapun dengan catatan berasal dari
keturunan lelaki atau pihak pancer trah wanita memiliki kedudukan bangsawan
yang kuat. Pada gelar Raden Bagus, gelar ini akan berubah apabila yang
bersangkutan telah menikah, gelar ini berubah menjadi Raden Bei/Raden Behi
(RB.)
6.
Dalam lingkup gelar kebangsawanan Mataram Islam, 4 praja
nagari (Kesultanan, Kasunanan, Pakualaman, Mangkunegaraan) juga mengenal Gelar
Istimewa. Gelar-gelar ini dibedakan menjadi 2 macam, yakni dapat diteruskan
pada generasi berikutnya baik putra maupun putri dan yang tidak dapat
diturunkan pada generasi berikutnya dengan alasan merupakan gelar jabatan. Pada
gelar istimewa yang dapat diturunkan, untuk keturunan dari lelaki dapat
memperoleh gelar yang sama dengan generasi sebelumnya, khusus keturunan dari perempuan
gelarnya akan diturunkan sesuai tingkatan gelar umum. Jika tingkatan gelar
keturunan dari perempuan habis maka keturunan berikutnya tidak mendaptkan gelar
lagi, kecuali Trah dari garis wanita memiliki kedudukan kebangsawanan yang
kuat.
a.
Contoh gelar yang dapat diturunkan Putra :
1)
Raden Mas (R.M.)
1)
Raden (R.)
2)
Raden Bagus (R.B.)
3)
Raden Bei (R.B.)
4)
Raden Panji (R.P.)
5)
Raden Aryo Panji
6)
Mas / Mas Anom / Aryo Bagus / Bagus (merupakan gelar
terakhir: ditulis lengkap, biasanya merupakan sebutan bagi seseorang)
b.
Contoh gelar yang dapat diturunkan Putri:
1)
Raden Ajeng (RA.) / Raden Ayu (RAy.)
2)
Rara (Rr.)
3)
Raden Nganten (RNgt.)
4)
Dyah / Ayu / Nimas (merupakan gelar terakhir: ditulis
lengkap, biasanya merupakan sebutan bagi seseorang)
Gelar-gelar pada
poin di atas merupakan gelar-gelar kebangsawan Jawa yang diakui secara aklamasi
di seluruh Nusantara agar dapat diturunkan terhadap anak cucunya tanpa batas.
Pada Gelar Putri, gelar Rara (Rr.) dapat diturunkan sampai generasi keberapapun
dengan catatan Trah Pihak Wanita memiliki kedudukan bangsawan/Trah yang
kuat/Tinggi. Pada poin terakhir pada masing-masing gelar di putra maupun putri,
sebutan gelar tersebut merupakan sebuah penghormatan bagi orang-orang yang
merupakan trah bangsawan namun telah habis grad penurunan gelarnya. Gelar
tersebut tidak harus dituliskan di Akta Kelahiran. Penggunaan gelar Raden Bagus
dapat dimisalkan dengan: Seorang Ibu dengan gelar RA atau Rr menikah dengan
seorang Bapak tanpa gelar, jika anaknya perempuan maka anaknya akan mendapat
gelar Rr. (dengan catatan si Bapak harus diwisuda dengan gelar baru). Namun
jika anaknya laki-laki maka gelarnya adalah Raden Bagus, apabila sudah menikah
berubah menjadi Raden Bei. Penggunaan gelar Raden Bei juga digunakan pada anak
pertama laki-laki.
F. Gelar-gelar jabatan :
1.
Kanjeng
Radèn Harya Tumenggung (KRHT) ; putra
2.
Mas
Radèn Harya Tumenggung (MRHT) ; putra
3.
Kanjeng
Radèn Mas Tumenggung (KRMT) ; putra
4.
Radèn
Mas Tumenggung (RMT) ; putra
5.
Ki
Tumenggung Adipati ; putra
6.
Ki
Ageng ; putra
7.
Kyai
Ageng ; putra
8.
Mas
Tumenggung / Mas Adipati ; putra
9.
Kanjeng
Mas Ayu Tumenggung ; putri
10. Kanjeng Mas Ayu
; putri
11. Mas Ayu ; putri
12. Nimas Ayu ;
putri
13. Nyai Tumenggung
; putri
14. Raden Hangabehi
(RNg) ; putra
15. Mas Ngabéi (MNg)
; putra
16. Mas Bekel ;
putra
17. Mas Ngebel ;
putra
18. Nyai Adjeng ;
putri
19. Nyai ; putri
Perlu diperhatikan pada gelar jabatan
putra & putri, gelar-gelar tersebut dapat d iwisudakan
pada generasi selanjutnya dengan beberapa pendapat :
1.
Jika
keturunannya sudah dewasa, atau
2.
Jika
sudah diketahui pihak keraton, atau
3.
Jika
disetujui pihak keraton.
4.
Polemik
gelar itu masih simpang siur. Namun bagi keturunan yang telah yakin dengan
gelar yang disandang, hendaklah arif menggunakan gelar tersebut karena
menyangkut harkat dan martabat generasi di atasnya. Khusus untuk gelar putri
apabila ada seorang putri dengan gelar RA. menikah dengan priyayi alit
(masyarakat biasa) dan mempunyai anak putri maka gelar anaknya tersebut
diturunkan menjadi Rr. dan seterusnya.
5.
Gelar
Istimewa karena Jabatan Biasa disandang oleh para Priyayi Anom, Adipati, Patih,
Bupati, Wedana, Camat, Mantri dsb. (gelar ini dahulu disandangkan pada
laki-laki, karena pemangku jabatan mayoritas adalah laki-laki, sedangkan
istrinya juga mendapatkan gelar istimewa namun jarang)