majapahit2010

Senin, 16 November 2020

WAHYU MAHKUTHA RAMA

WAHYU MAHKUTHA RAMA

 

Dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA yang artinya HASTA adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi HASTABRATA adalah merupakan 8 pedoman ilmu standard perilaku manusia dalam leadership & Manajemen. Sekilas kacarita HASTABRATA telah di-wejangkan oleh Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung).

Yang kedua oleh Raden Regowo juga (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Sindelo bergelar Prabu Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko).

Yang ketiga Sri Bathara Kresna (Titisan Bhatara Wisnu) dari Dworowati mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita Wahyu Makutoromo) Raden Arjuna, sbg penengah Pendawa yang telah menjalani “Perilaku” prihatin dengan cara bertapa.

Dikatakan bahwa ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa dgn implementasi prinsip2 hukum alamiah.

Asta Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:

1.      Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi).

Seperti halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.

2.      Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)

Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan  merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.

3.      Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin).

Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan)

4.      Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan).

Seperti sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.

5.      Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari).

Seperti sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi rakyatnya.

6.      Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra).

Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.

7.      Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung).

Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan tanah.

8.      Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api).

Seperti sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

 

WAHYU

Bagi sebagian masyarakat Jawa masih banyak yang beranggapan bahwa wahyu adalah wujud kelimpahan rahmat dan pencerahan Tuhan kepada seseorang, sehingga orang yang mendapatkan wahyu atau kewahyon dapat dikatakan hidupnya akan berhasil secara lahir dan batin. Dengan demikian wahyu dimaknai sebagai tanda perubahan seseorang mengarah kepada kebaikan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang juga berguna bagi kesejahteraan orang banyak. Untuk mencapai semua itu, manusia Jawa biasanya melakukan laku batin antara lain; bertapa, berpuasa, mengurangi tidur, berpantang, atau mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan masih banyak yang lainnya.

1.      Pada khalayak ramai muncul beragam pendapat tentang makna wahyu. Harun Nasution dalam bukunya Filsafat Agama mengartikan wahyu sebagai suatu kebenaran yang datangnya langsung dari Tuhan kepada salah seorang dari hamba-Nya. Dengan kata lain, wahyu terjadi karena adanya komunikasi antara Tuhan dan manusia (1979: 21). Wahyu juga berarti kemuliaan Illahi, keuntungan, kejayaan (Sastro Amidjojo, 1964: 112).

2.      R.S. Subalidinata dalam GATRA Majalah Warta Wayang no.6 th. 1985 memberikan  pengertian tentang wahyu sebagai berikut : Wahyu adalah pulung nugrahaning Allah (kebahagiaan anugerah Tuhan), wahyuadalah Wedharing Allah menggahing prakara gaib (keterangan Tuhan mengenai perkara gaib). Kebanyakan orang menganggap wahyu sama dengan pulung. Ketiban wahyu (kejatuhan wahyu) sering dikatakan ketibaban pulung. Pulung tidak lain anugerah, keuntungan, kebahagiaan atau kemuliaan (1985: 13).

3.      Menurut Sri Mulyono dalam Wayang dan Filsafat Nusantara, wahyu adalah “sabda sejati”, dengan demikian wahyu ini tidak berujud benda, tetapi berujud ajaran-ajaran, petunjuk-petunjuk atau dalil-dalil dari Sang Hyang Wisesa Jati (1982: 54). Wahyu merupakan suatu anugerah dari Tuhan untuk umat pilihan-Nya dan bukan bersifat kebendaan atau keduniawian namun bersifat kerohanian (Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).

4.      Menurut Hardo Suti, seorang dalang di daerah Wonogiri memberikan makna wahyu sebagai berikut: “Wahyu menika setu-setunggaling bab ingkang digayuh bisa gawé kasembadaning karep. Ingkang dipun wastani ingkang sampun kewahyon menika tegesé wis kecekel kekarepané” (wawancara 31 Juli 2003).

Terjemahan: Wahyu merupakan sesuatu hal yang dicari agar bisa tercapai tujuannya. Yang dimaksud sudah kewahyon berarti sudah tercapai cita-citanya.

5.      Dalam dunia mitos Jawa ada sebagian golongan mempercayai bahwa wahyu itu memang ada dan berujud. Fenomena  tersebut dapat kita lihat dalam cerita-cerita rakyat atau dalam babad tanah Jawa yang menggambarkan turunnya wahyu berupa seberkas cahaya terang dan kemudian jatuh lalu menyatu dalam tubuh seseorang yang sedang melakukan tapa brata atau semedi.

6.      Menurut Kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Arok sejak bayi tubuhnya bersinar, dikatakan ia telah memperoleh wahyu keprabon (wahyu raja). Dalam Babad Mataram diceritakan bahwa Panembahan Senopati di waktu tidur ada benda yang bersinar sebesar kelapa jatuh didekatnya. Ini pertanda bahwa Penembahan Senopati telah mendapat wahyu. Raden Bagus Burhan atau yang lebih kita kenal dengan nama R. Ng. Ronggowarsito, seorang pujangga besar dari Kraton Surakarta ketika waktu kecilnya sedang tapa kungkum (bertapa dengan cara berendam dalam air) ada seberkas sinar menghampirinya, dikatakan ia mendapat wahyu (Subalidinata 1985:13).

7.      Menurut Toto Atmodjo, di kalangan orang tua dahulu mempercayai jika ada seberkas cahaya berwarna biru yang turun dari langit ada waktu malam disebut wahyu (wawancara 31 Juli 2003). R.M. Sajid dalam bukunya Bauwarna Kawruh Wajang, jilid 2 menerangkan bahwa wahyu berwarna putih kehijauan yang merupakan campuran dari mutiara, emas dan perak.

8.      Masih berkaitan dengan kepercayaan tentang wujud wahyu, Naryacarita dalang senior dari Kartasura, Sukoharjo menuturkan pengalaman pribadinya sebagai berikut “aku wis tau mlaku-mlaku ki weruh kaya bulan, gedhene padha karo bulan, glundhung-glundhung mubeng ngéné. Dadi jenengé wahyu. Sapa lé arep ketiban” (wawancara 30 Agustus 2003).

Terjemahan: Saya pernah berjalan-jalan melihat seperti bulan, besarnya seukuran bulan, berputar menggelinding seperti ini. Itu namanya wahyu. Siapa yang akan kejatuhan (mendapatkannya).

9.      Menurut Suwardi Endraswara dalam Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa mengklasifikasikan wujud wahyu menjadi 3 macam, yaitu: (a) wahyu nurbuwah, yaitu wahyu keraton. Wahyu ini akan menandakan siapa yang kuat menjadi raja. Namun hal ini juga bisa dikiaskan sebagi bentuk kekuasaan, atau dengan kata lain siapapun yang mendapatkan wahyu jenis ini akan mendapatkan kedudukan tertentu; (b) wahyu kukumah, yaitu berupa cahaya berwarna kuning keemasan sebagai wahyu bagi seseorang yang akan menjadi raja yang adil paramarta; (c) wahyu wilayah, yaitu wahyu yang diterima oleh seorang wali. Jika menerima wahyu ini, ia berhak menyebarkan wahyu Tuhan (2006:270-271)

10.  Dari berbagai cerita yang berkembang di masyarakat tadi dapat kita simpulkan bahwa wahyu menurut anggapan umum hanya bertempat pada “orang-orang pilihan”. Berkaitan dengan hal itu Subalidinata dalam salah satu tulisannya mengemukakan bahwa di kalangan umum menganggap wahyu itu sesuatu yang luar biasa, tidak dimiliki oleh sembarang orang (tokoh cerita). Wahyu hanya bertempat pada orang yang jujur, murah hati, suci. Sebaliknya tidak mau bertempat pada orang yang sombong, angkuh, tamak dan sebagainya (Subalidinata, 1985: 20).

11.  Dari keanekaragaman pendapat tentang wahyu tersebut di atas kita tidak dapat menyalahkan pendapat si A maupun si B atau menganggap pendapat si C yang benar. Namun secara garis besar dapat disimpulkan bahwa wahyu merupakan sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia, anugerah, mukjizat dari Tuhan untuk kebahagiaan umat-Nya.

12.  Setelah sekilas mengupas makna wahyu, selanjutnya penulis akan mencoba mengupas makna harfiah dari Makutharama itu sendiri. Menurut Sri Mulyono dalam buku Wayang dan Filsafat Nusantara mengartikan “makutha” sebagai suatu simbol atau status kewibawaan kerajaan dan kekuasaan duniawi, sedangkan “rama” diartikan sebagai Wisnu. Dengan demikian menurut Sri Mulyono, Wahyu Makutharama merupakan ajaran kepemimpinan dari Dewa Wisnu (1982: 54-55). Pendapat yang senada disampaikan oleh Timbul Hadi Prayitno seorang dalang senior dari Yogyakarta yang pendapatnya dikutip oleh Mas’ud Toyib dalam Majalah Pedalangan dan Pewayangan CEMPALA edisi Maret 1997 yang menyebutnya dengan lakon Wahyu Sri Makutharama. Kata “sri” memperkuat pengertian ratu/raja (pemimpin). Wahyu Sri Makutharama mengandung arti ajaran kepemimpinan (1997: 7). Tristuti Rahmadi Suryo Saputro berpendapat bahwa makutha adalah pengagemaning narendra (pakaian raja) sedangkan Rama adalah nama seorang raja di Pancawati. Dengan demikian Makutharama memiliki makna suatu wujud dari angger ugering keprabon (garis-garis besar kepemimpinan) yang pernah dipakai oleh Prabu Rama dan karena begitu mulianya ajaran tersebut sehingga derajadnya disamakan dengan wahyu (wawancara 3 Desember 2003).

            Sementara itu Naryacarita mengartikan Makutharama sebagai berikut:

13.  Makutharama kuwi tegesé ngéné, makutha ki agem-agemaning Rama. Rama nalika dhèwèké dadi ratu, kuwi dadi piwulang njut dadi ASTABRATA kaé,  dadi lé diarani Makutharama ki agem-agemané Rama nalika dadi Ratu” (wawancara 30 Agustus 2003). Terjemahan: Makutharama itu artinya begini, makutha adalah pakaian (pegangan) Rama sewaktu bertahta, itu menjadi sebuah ajaran kemudian menjadi ASTABRATA, jadi yang dimaksud Makutharama itu merupakan pegangan (ajaran) Rama sewaktu menjadi raja.

14.  Siswa Harsaya dalam Serat Wahju Makutharama (Hasta Brata Kawedhar) Sinawung Sekar Matjapat pupuh ke 16 pada Sekar Sinom menyebutkan: Wruhanta iku kerasan, pamoré tembung tri warni; Wahju Makutha lan Rama, lungguhé sawidji-widji, wahju iku kang dadi jekti, kanugrahaning Hyang Agung, Makutéku; busana, agemé para Narpati, kang pinundhi dumunung anèng Makutharama iku karepira; Rama Widjaja sang Adji, ija Sri Bathara Rama, Naréndra ing Pantjawati, ing Ngajodya nagari, kang samengka sang prabu wus, murud ing kasuwargan, malaj kabaré manitis, mring Sri Kresna naranata ing Dwaraka.

15.  Dadi surasaning kata, Wahju Makutharamaki, jéku nugrahaning suksma, kang anggung pinundi-pundi, Rama Widjaja Adji, nalika djumeneng ratu, puwara Prabu Rama, djumeneng Sunarapati, kontap ing rat dadya darsananing djagad (Siswo Harsojo, 1960). Terjemahan secara bebas: Ketahuilah bahwa makna dari tiga kata; wahyu, makutha dan rama. Masing-masing mempunyai makna sendiri-sendiri. Wahyu adalah anugerah dari Tuhan, Makutha adalah busana raja yang dikenakan di kepala.

16.  Rama maksudnya adalah Sang Prabu Rama Wijaya disebut juga Sri Bathara Rama seorang raja di Pancawati dari negara Ayodya yang telah wafat dan menurut berita telah menitis kepada Sri Kresna raja Dwaraka.

17.  Jadi makna kata wahyu Makutharama adalah anugerah dari Tuhan yang sangat dihormati oleh Prabu Rama Wijaya ketika bertahta dengan gelar Prabu Rama yang terkenal dan menjadi suri tauladan di dunia.

 

Dari kutipan di atas jelas dikatakan bahwa secara harfiahnya Wahyu Makutharama adalah mahkota dari Sri Rama raja di Pancawati. Dengan beberapa analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Wahyu Makutharama mengandung pengertian sebuah anugerah yang berupa ilmu pengetahuan (ajaran-ajaran) tentang watak/konsep-konsep tentang kepemimpinan yang pernah diterapkan oleh Prabu Rama Wijaya pada jaman siklus cerita Ramayana.

0 comments:

Posting Komentar