WAHYU MAHKUTHA RAMA
Dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA
yang artinya HASTA adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi
HASTABRATA adalah merupakan 8 pedoman ilmu standard perilaku manusia dalam
leadership & Manajemen. Sekilas kacarita HASTABRATA telah di-wejangkan oleh
Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan
menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung).
Yang kedua oleh Raden Regowo juga
(Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan
menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Sindelo bergelar Prabu
Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko).
Yang ketiga Sri Bathara Kresna (Titisan
Bhatara Wisnu) dari Dworowati mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita
Wahyu Makutoromo) Raden Arjuna, sbg penengah Pendawa yang telah menjalani
“Perilaku” prihatin dengan cara bertapa.
Dikatakan bahwa ke-delapan unsur alam
semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan
masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa dgn
implementasi prinsip2 hukum alamiah.
Asta Brata adalah delapan prinsip
kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:
1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi).
Seperti halnya
bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan
hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan
memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan
segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.
2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat
air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang
pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan
riil rakyatnya. Rakyat akan merasa
sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu
diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam
membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin,
tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas
yang diembannya sendirian.
3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin).
Seperti halnya
sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa
pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan
bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan)
4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan).
Seperti sifat
bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya
dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak
menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena
aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.
5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari).
Seperti sifat
matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat.
Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi
atas masalah yang dihadapi rakyatnya.
6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra).
Seperti sifat
lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari
segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai.
Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan
ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan,
dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih
sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.
7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung).
Seperti sifat
gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki
keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela
kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus
memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang
pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi
yang dapat menyuburkan tanah.
8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api).
Seperti sifat
api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan
membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan
memberikan perlindungan kepada rakyatnya.
WAHYU
Bagi sebagian masyarakat Jawa masih
banyak yang beranggapan bahwa wahyu adalah wujud kelimpahan rahmat dan
pencerahan Tuhan kepada seseorang, sehingga orang yang mendapatkan wahyu atau
kewahyon dapat dikatakan hidupnya akan berhasil secara lahir dan batin. Dengan
demikian wahyu dimaknai sebagai tanda perubahan seseorang mengarah kepada
kebaikan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang juga berguna bagi kesejahteraan
orang banyak. Untuk mencapai semua itu, manusia Jawa biasanya melakukan laku
batin antara lain; bertapa, berpuasa, mengurangi tidur, berpantang, atau
mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan masih banyak yang lainnya.
1.
Pada
khalayak ramai muncul beragam pendapat tentang makna wahyu. Harun Nasution
dalam bukunya Filsafat Agama mengartikan wahyu sebagai suatu kebenaran yang
datangnya langsung dari Tuhan kepada salah seorang dari hamba-Nya. Dengan kata
lain, wahyu terjadi karena adanya komunikasi antara Tuhan dan manusia (1979:
21). Wahyu juga berarti kemuliaan Illahi, keuntungan, kejayaan (Sastro
Amidjojo, 1964: 112).
2.
R.S.
Subalidinata dalam GATRA Majalah Warta Wayang no.6 th. 1985 memberikan pengertian tentang wahyu sebagai berikut : Wahyu
adalah pulung nugrahaning Allah (kebahagiaan anugerah Tuhan), wahyuadalah
Wedharing Allah menggahing prakara gaib (keterangan Tuhan mengenai perkara
gaib). Kebanyakan orang menganggap wahyu sama dengan pulung. Ketiban wahyu
(kejatuhan wahyu) sering dikatakan ketibaban pulung. Pulung tidak lain
anugerah, keuntungan, kebahagiaan atau kemuliaan (1985: 13).
3.
Menurut
Sri Mulyono dalam Wayang dan Filsafat Nusantara, wahyu adalah “sabda sejati”,
dengan demikian wahyu ini tidak berujud benda, tetapi berujud ajaran-ajaran,
petunjuk-petunjuk atau dalil-dalil dari Sang Hyang Wisesa Jati (1982: 54).
Wahyu merupakan suatu anugerah dari Tuhan untuk umat pilihan-Nya dan bukan
bersifat kebendaan atau keduniawian namun bersifat kerohanian (Tristuti,
wawancara 11 Agustus 2003).
4.
Menurut
Hardo Suti, seorang dalang di daerah Wonogiri memberikan makna wahyu sebagai
berikut: “Wahyu menika setu-setunggaling bab ingkang digayuh bisa gawé kasembadaning
karep. Ingkang dipun wastani ingkang sampun kewahyon menika tegesé wis kecekel
kekarepané” (wawancara 31 Juli 2003).
Terjemahan: Wahyu
merupakan sesuatu hal yang dicari agar bisa tercapai tujuannya. Yang dimaksud
sudah kewahyon berarti sudah tercapai cita-citanya.
5.
Dalam
dunia mitos Jawa ada sebagian golongan mempercayai bahwa wahyu itu memang ada
dan berujud. Fenomena tersebut dapat
kita lihat dalam cerita-cerita rakyat atau dalam babad tanah Jawa yang
menggambarkan turunnya wahyu berupa seberkas cahaya terang dan kemudian jatuh
lalu menyatu dalam tubuh seseorang yang sedang melakukan tapa brata atau
semedi.
6.
Menurut
Kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Arok sejak bayi tubuhnya bersinar, dikatakan
ia telah memperoleh wahyu keprabon (wahyu raja). Dalam Babad Mataram
diceritakan bahwa Panembahan Senopati di waktu tidur ada benda yang bersinar
sebesar kelapa jatuh didekatnya. Ini pertanda bahwa Penembahan Senopati telah
mendapat wahyu. Raden Bagus Burhan atau yang lebih kita kenal dengan nama R.
Ng. Ronggowarsito, seorang pujangga besar dari Kraton Surakarta ketika waktu
kecilnya sedang tapa kungkum (bertapa dengan cara berendam dalam air) ada
seberkas sinar menghampirinya, dikatakan ia mendapat wahyu (Subalidinata 1985:13).
7.
Menurut
Toto Atmodjo, di kalangan orang tua dahulu mempercayai jika ada seberkas cahaya
berwarna biru yang turun dari langit ada waktu malam disebut wahyu (wawancara
31 Juli 2003). R.M. Sajid dalam bukunya Bauwarna Kawruh Wajang, jilid 2 menerangkan
bahwa wahyu berwarna putih kehijauan yang merupakan campuran dari mutiara, emas
dan perak.
8.
Masih
berkaitan dengan kepercayaan tentang wujud wahyu, Naryacarita dalang senior
dari Kartasura, Sukoharjo menuturkan pengalaman pribadinya sebagai berikut “aku
wis tau mlaku-mlaku ki weruh kaya bulan, gedhene padha karo bulan,
glundhung-glundhung mubeng ngéné. Dadi jenengé wahyu. Sapa lé arep ketiban”
(wawancara 30 Agustus 2003).
Terjemahan: Saya
pernah berjalan-jalan melihat seperti bulan, besarnya seukuran bulan, berputar
menggelinding seperti ini. Itu namanya wahyu. Siapa yang akan kejatuhan
(mendapatkannya).
9.
Menurut
Suwardi Endraswara dalam Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa mengklasifikasikan wujud wahyu menjadi 3 macam,
yaitu: (a) wahyu nurbuwah, yaitu wahyu keraton. Wahyu ini akan menandakan siapa
yang kuat menjadi raja. Namun hal ini juga bisa dikiaskan sebagi bentuk
kekuasaan, atau dengan kata lain siapapun yang mendapatkan wahyu jenis ini akan
mendapatkan kedudukan tertentu; (b) wahyu kukumah, yaitu berupa cahaya berwarna
kuning keemasan sebagai wahyu bagi seseorang yang akan menjadi raja yang adil
paramarta; (c) wahyu wilayah, yaitu wahyu yang diterima oleh seorang wali. Jika
menerima wahyu ini, ia berhak menyebarkan wahyu Tuhan (2006:270-271)
10. Dari berbagai
cerita yang berkembang di masyarakat tadi dapat kita simpulkan bahwa wahyu
menurut anggapan umum hanya bertempat pada “orang-orang pilihan”. Berkaitan
dengan hal itu Subalidinata dalam salah satu tulisannya mengemukakan bahwa di
kalangan umum menganggap wahyu itu sesuatu yang luar biasa, tidak dimiliki oleh
sembarang orang (tokoh cerita). Wahyu hanya bertempat pada orang yang jujur,
murah hati, suci. Sebaliknya tidak mau bertempat pada orang yang sombong,
angkuh, tamak dan sebagainya (Subalidinata, 1985: 20).
11. Dari
keanekaragaman pendapat tentang wahyu tersebut di atas kita tidak dapat menyalahkan
pendapat si A maupun si B atau menganggap pendapat si C yang benar. Namun
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa wahyu merupakan sebuah konsep yang
mengandung pengertian suatu karunia, anugerah, mukjizat dari Tuhan untuk
kebahagiaan umat-Nya.
12. Setelah sekilas
mengupas makna wahyu, selanjutnya penulis akan mencoba mengupas makna harfiah
dari Makutharama itu sendiri. Menurut Sri Mulyono dalam buku Wayang dan
Filsafat Nusantara mengartikan “makutha” sebagai suatu simbol atau status
kewibawaan kerajaan dan kekuasaan duniawi, sedangkan “rama” diartikan sebagai
Wisnu. Dengan demikian menurut Sri Mulyono, Wahyu Makutharama merupakan ajaran
kepemimpinan dari Dewa Wisnu (1982: 54-55). Pendapat yang senada disampaikan
oleh Timbul Hadi Prayitno seorang dalang senior dari Yogyakarta yang
pendapatnya dikutip oleh Mas’ud Toyib dalam Majalah Pedalangan dan Pewayangan
CEMPALA edisi Maret 1997 yang menyebutnya dengan lakon Wahyu Sri Makutharama.
Kata “sri” memperkuat pengertian ratu/raja (pemimpin). Wahyu Sri Makutharama
mengandung arti ajaran kepemimpinan (1997: 7). Tristuti Rahmadi Suryo Saputro
berpendapat bahwa makutha adalah pengagemaning narendra (pakaian raja)
sedangkan Rama adalah nama seorang raja di Pancawati. Dengan demikian
Makutharama memiliki makna suatu wujud dari angger ugering keprabon
(garis-garis besar kepemimpinan) yang pernah dipakai oleh Prabu Rama dan karena
begitu mulianya ajaran tersebut sehingga derajadnya disamakan dengan wahyu
(wawancara 3 Desember 2003).
Sementara itu Naryacarita
mengartikan Makutharama sebagai berikut:
13. Makutharama kuwi
tegesé ngéné, makutha ki agem-agemaning Rama. Rama nalika dhèwèké dadi ratu,
kuwi dadi piwulang njut dadi ASTABRATA kaé,
dadi lé diarani Makutharama ki agem-agemané Rama nalika dadi Ratu”
(wawancara 30 Agustus 2003). Terjemahan: Makutharama itu artinya begini,
makutha adalah pakaian (pegangan) Rama sewaktu bertahta, itu menjadi sebuah
ajaran kemudian menjadi ASTABRATA, jadi yang dimaksud Makutharama itu merupakan
pegangan (ajaran) Rama sewaktu menjadi raja.
14. Siswa Harsaya
dalam Serat Wahju Makutharama (Hasta Brata Kawedhar) Sinawung Sekar Matjapat
pupuh ke 16 pada Sekar Sinom menyebutkan: Wruhanta iku kerasan, pamoré tembung
tri warni; Wahju Makutha lan Rama, lungguhé sawidji-widji, wahju iku kang dadi
jekti, kanugrahaning Hyang Agung, Makutéku; busana, agemé para Narpati, kang
pinundhi dumunung anèng Makutharama iku karepira; Rama Widjaja sang Adji, ija
Sri Bathara Rama, Naréndra ing Pantjawati, ing Ngajodya nagari, kang samengka
sang prabu wus, murud ing kasuwargan, malaj kabaré manitis, mring Sri Kresna
naranata ing Dwaraka.
15. Dadi surasaning
kata, Wahju Makutharamaki, jéku nugrahaning suksma, kang anggung pinundi-pundi,
Rama Widjaja Adji, nalika djumeneng ratu, puwara Prabu Rama, djumeneng
Sunarapati, kontap ing rat dadya darsananing djagad (Siswo Harsojo, 1960). Terjemahan
secara bebas: Ketahuilah bahwa makna dari tiga kata; wahyu, makutha dan rama.
Masing-masing mempunyai makna sendiri-sendiri. Wahyu adalah anugerah dari
Tuhan, Makutha adalah busana raja yang dikenakan di kepala.
16. Rama maksudnya
adalah Sang Prabu Rama Wijaya disebut juga Sri Bathara Rama seorang raja di
Pancawati dari negara Ayodya yang telah wafat dan menurut berita telah menitis
kepada Sri Kresna raja Dwaraka.
17. Jadi makna kata
wahyu Makutharama adalah anugerah dari Tuhan yang sangat dihormati oleh Prabu
Rama Wijaya ketika bertahta dengan gelar Prabu Rama yang terkenal dan menjadi
suri tauladan di dunia.
Dari kutipan di atas jelas dikatakan
bahwa secara harfiahnya Wahyu Makutharama adalah mahkota dari Sri Rama raja di
Pancawati. Dengan beberapa analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Wahyu
Makutharama mengandung pengertian sebuah anugerah yang berupa ilmu pengetahuan
(ajaran-ajaran) tentang watak/konsep-konsep tentang kepemimpinan yang pernah
diterapkan oleh Prabu Rama Wijaya pada jaman siklus cerita Ramayana.