majapahit2010

Sabtu, 07 Mei 2011

SEJARAH KERAJAAN TANAH JAWA

SEJARAH TANAH JAWA









Sejarah yang melatar belakangi keberadaan dan perjalanan cerita akan bangsa kita, yang mana tentunya menjadi
sebuah kekayaan akan budaya bangsa kita yang terkenal adi luhung ( kaya akan pekerti baik ).
SEJARAH SINGKAT KRATON JAWA
KARATON-KARATON LAMA-JAWA
KALING
Sekitar tahun 618-906 di Jawa Tengah ada kerajaan bernama Kaling/Holing. Rakyat tenteram dan hidup makmur. Sejak
tahun 674 diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Simo, yang memerintah berdasarkan kejujuran mutlak,
sangat keras dan masingmasing orang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak berani dilanggar. Sebagai contoh:
putra mahkota pun dipotong kakinya karena menyentuh barang yang bukan miliknya di tempat umum.
MATARAM Lama (Jawa Tengah)
Di desa Canggal (barat daya Magelang) ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 732, berhuruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta. Isi utama menceritakan tentang peringatan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya, di sebuah pulau yang mulia bernama Yawadwipa yang kaya raya akan hasil bumi khususnya padi dan emas. Mendirikan lingga secara khusus adalah mendirikan kerajaan. Tempat tepatnya adalah di gunung Wukir desa Canggal. Disini diketemukan sisa-sisa sebuah candi induk dengan 3 (tiga) candi perwara di depannya. Sayangnya yang masih tersisa sangat sedikit sekali, dimana lingganya sudah tidak ada dan yang ada hanya landasannya yaitu sebuah yoni besar sekali, disamping candinya pun juga sudah tidak berwujud lagi.
Yawadwipa mula-mula diperintah oleh raja Sanna, sangat lama, bijaksana dan berbudi halus. Lalu setelah wafat digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna), raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan keprajuritan, menciptakan ketenteraman dan kemakmuran yang dapat dinikmati rakyatnya. Dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya, Sanjaya dianggap sebagai Wamsakarta dari kerajaan Mataram dan diakui betapa besarnya Sanjaya itu bagi mereka sampai abad X.
KANJURUHAN (Jawa Timur)
Di desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760, berhuruf Kawi dan berbahasa
Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa
Kejuron) dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana),
yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760. Upacara peresmian
dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah
Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).
SANJAYAWAMSA dan CAILENDRAWAMSA
Kecuali di desa Canggal, sampai pertengahan abad IX dari keturunan Sanjaya tidak ada lagi ditemukan prasasti lain, kecuali sesudah itu diketemukan prasasti-prasasti dari keluarga raja lain, yaitu Sailendrawamsa, antara lain prasasti Kalasan. Dalam prasasti Kalasan, berhuruf Pra-nagari, berbahasa Sanskerta, berangka tahun 778, disebutkan bahwa para guru sang raja berhasil membujuk maharaja Tejahpurnapana Panangkarana/Kariyana Panangkarana untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta dalam kerajaan. Selain itu terbukti bahwa antara keluarga Sanjaya dan keluarga Sailendra ada kerjasama yang erat dalam hal-hal tertentu. Candi itu bernama Kalasan, di desa Kalasan (sebelah timur Yogyakarta), yang walau di dalam candi ini saat sekarang kosong, namun melihat singgasana dan biliknya maka arca Tara dahulu bertahta disini dan besar sekali, yang diperkirakan dari perunggu. Menurut prasasti raja Balitung berangka tahun 907, Tejahpurna Panangkarana adalah Rakai Panangkaran, pengganti Sanjaya. Kemudian dilanjutkan oleh Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi,
Rakai Watuhumalanga dan raja Balitung/Rakai Watukura dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu (yang membuat
prasasti). Pada saat pemerintahan Sanjayawamsa berlangsung terus dengan daerah kekuasaan di bagian utara Jawa
Tengah dan beragama Hindu yang memuja Siwa, terbukti dari sifat candinya (thn 750-850 M), maka pemerintahan
Sailendrawamsa juga berlangsung terus dengan daerah kekuasaan di bagian selatan Jawa Tengah dan beragama Buda
aliran Mahayana yang juga terbukti dari candinya. Namun kedua wamsa ini bersatu di pertengahan abad IX, yang
ditandai adanya perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani (raja putri dari keluarga sailendra). Selain
candi Kalasan yang didirikan untuk memuliakan agama Buda, ditemukan juga prasasti dari Kelurak (Prambanan) yang
berhuruf Pra-nagari dan berbahasa Sanskerta, yang berisi tentang pembuatan arca Manjusri (mengandung Buddha, Dharma dan Sanggha), rajanya bergelar sri Sanggramadananjaya, dengan bangunan untuk tempat arca yang diperkirakan (tidak jauh di sebelah utara Prambanan) bernama Candi Siwa.
Samaratungga adalah pengganti Indra, yang menurut prasasti Karangtengah (dekat Temanggung) dalam tahun 824 ia membuat candi Wenuwana/Ngawen di sebelah barat Muntilan. Anehnya, seperti halnya Kalasan, pemberi tanah untuk bangunan tersebut adalah seorang raja keluarga Sanjaya, yaitu Rakarayan Patapan pu Palar atau Rakai Garung. Samaratungga digantikan putrinya, Pramodawardhani (yang kemudian bergelar sri Kahulunnan) yang kawin dengan Rakai Pikatan, pengganti Rakai Garung. Uniknya, Pramodhawardhani mendirikan bangunan suci Buda (misalnya kelompok candi Plaosan, pemeliharaan Kamulan/candi Borobudur di Bhumisambhara yang diperkirakan dibangun oleh Samaratungga), sedangkan Rakai Pikatan mendirikan bangunan suci Hindu (misalnya kelompok candi Loro Jonggrang).
Sedangkan Balaputra, adik dari Pramodawardhani, setelah pada tahun 856 gagal merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, ia melarikan diri ke Suwarnadwipa dan berhasil menaiki takhta Sriwijaya, dengan agamanya Budha.
SANJAYAWAMSA
Setelah berhasil menghilangkan kekuasaan keluarga Sailendra, dalam prasasti tahun 856 dikatakan bahwa Rakai sebelum turun tahta mampu menggempur Balaputra yang bertahan di bukit Ratu Boko. Penggantinya adalah Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi (tahun 856-886) dengan sebutan sri maharaja dan gelar abhiseka (penobatan raja) sri
Sajjanotsawatungga (menunjukkan bahwa ia penguasa satu-satunya dan juga berdarah Sailendra). Rakai Kayuwangi menghadapi kesulitan rakyatnya, sebab selama 3/4 abad Sailendra banyak menghasilkan bangunan-bangunan suci
yang megah dan mewah demi kebesaran raja, yang mengakibatkan lemahnya tenaga rakyat Mataram dan menekan hasil pertanian.
Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (tahun 886-898), lalu raja Balitung/Rakai Watukura yang bergelar sri Iswarakesawotsawatungga (tahun 898- 910), merupakan raja pertama yang memerintah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa Kanjuruhan-prasasti Dinoyo ditaklukkan, karena sebutan rakryan
Kanuruhan adalah salah satu jabatan tinggi langsung dibawah raja.
Setelah Balitung adalah Daksa, yang sebelumnya menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I Hino (tahun 910-919),
kemudian Tulodong dengan gelar sri Sajanasanmatanuragatuggadewa(tahun 919-924), selanjutnya Wawa yang
bergelar sri Wijayalokanamottungga (tahun 924-929), dan kemudian seorang raja dari keluarga lain, yaitu Sindok dari
Isanawamca yang mana pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur, tanpa diketahui jelas sebabnya.
ISTANA (Jawa Timur)
Panggung sejarah pindah dari Jawa tengah ke Jawa Timur tanpa sebab yang jelas, dengan rajanya Sindok (929-947).
Pemerintahan berlangsung aman dan sejahtera. Sebuah kitab suci Budha (Sang Hyang Kamahayanikan) yang
menguraikan ajaran dan ibadah agama Budha Tantrayana dapat dihimpun selama Sindok berkuasa, walau ia beragama
Hindu. Ia memerintah bersama permaisurinya bernama Sri Parameswari Sri Wardhani pu Kbi. Anehnya, sebelum kawin
dengan anak Wawa (mungkin) ia tidak menggunakan gelar raja (sri maharaja rake hino sri Icana
Wikramadharmottunggadewa), tetapi menyebut dirinya rakryan sri mahamantri pu Sindok sang
Srisanottunggadewawijaya (penguasa tertinggi setelah raja).
Penggantinya yang diketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga (dinamakan prasasti Calcutta, kini disimpan di Indian Museum di Calcutta), yaitu putrinya sri Icanatunggawijaya yang bersuamikan raja Lokapola. Lalu dilanjutkan oleh Makutawangsawardhana yang digambarkan sebagai matahari dalam keluarga Istana. Selanjutnya ia mempunya

anak perempuan bernama Mahendradatta atau Gunapriya dharmapatni yang bersuamikan raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali. Sri Dharmawangsa Tguh Ananta wikramattunggadewa (tahun 991-1016) adalah pengganti Makutawangsawardhana. Selain berhasil menundukkan Sriwijaya, iapun sangat besar pengaruhnya di Bali yang dapat dibuktikan dari prasasti-prasasti Bali yang semula berbahasa Bali dan sejak tahun 989 terutama sesudah tahun 1022 sebagian besar tertulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Disamping itu pada jamannya, kitab Mahabharata disadur dalam bahasa Jawa Kuno, pun disusun sebuah kitab hukum
Siwasasana pada tahun 991 . Menurut batu Calcutta, seluruh Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh raja
Wurawari dan diduga bahwa yang berdiri di belakangnya sebenarnya Sriwijaya. Tapi ada yang lolos dari kehancuran,
yaitu Airlangga, putra Mahendradatta raja Bali, saat ia berusia 16 tahun yang disertai Narottama bersembunyi di
Wonogiri (ikut para pertapa), yang setelah dewasa kawin dengan sepupunya, anak dari Dharmawangsa.
Makutawangsawardhana dari Jawa Timur mempunyai putri (Ratu Sang Luhur Sri Gunapriyadharmapatni ) yang
memerintah Bali tahun 989 bersama suaminya Sri Dharmodayana Warmadewa. Disekitar tahun 1010 Mahendradatta
meninggal, sehingga Udayana memerintah sendiri sampai tahun 1022, anak sulungnya bernama Airlangga yang
menggantikan Dharmawangsa memerintah di Jawa Timur dan anak bungsu bernama Anak Wungsu yang memerintah di
Bali yang bernama resmi sri Dharmawangsa wardhana Marakatapangkajasthanot tunggadewa.
Di tahun 1019 Airlangga yang dinobatkan oleh para pendeta Buda, Siwa dan Brahmana, menggantikan Dharmawangsa, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Ananta wikramat tunggadewa. Ia memerintah dengan daerah hanya kecil saja karena saat kerajaan Dharmawangsa hancur, menjadi terpecahpecah menjadi kerajaan- kerajaan kecil.
Sejak tahun 1028 Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah saat pemerintahan Dharmawangsa, yang bisa jadi
juga ada hubungannya dengan kelemahan Sriwijaya yang baru saja diserang dari Colamandala (1023 dan 1030). Raja-
raja yang ditaklukkan itu adalah Bhisma prabhawa (1028-1029), Wijaya dari Wengker (1030), Adhamapanuda (1031),
seorang seperti raksasa raja perempuan (1032), Wurawari (1032) dan raja Wengker (1035) yang sempat muncul lagi.
Kemakmuran dan ketrentaman pemerintahan Airlangga (ia dibantu oleh Narottama/ rakryan Kanuruhan dan Niti/rakryan
Kuningan) yang ibukotanya pada tahun 1031 di Wwatan Mas dipindahkan ke Kahuripan di tahun 1031, diikuti dengan
suburnya seni sastra, yang antara lain: kitab Arjunawiwaha karangan mpu Kanwa tahun 1030 yang berisi cerita
perkawinan Arjuna dengan para bidadari hadiah para dewa atas jerih payahnya mengalahkan para raksasa yang
menyerang kayangan (kiasan hasil usaha Airlangga sendiri yang merupakan persembahan penulis kepada raja). Ini juga
pertama kali keterangan wayang dijumpai, walau sebetulnya sudah ada sebelum Airlangga. Anak perempuan Airlangga
yaitu Sanggramawijaya, ditetapkan sebagai mahamantri i hino (ialah berkedudukan tertinggi setelah raja), setelah tiba
masanya menggantikan Airlangga, ia menolak dan memilih sebagai pertapa. Maka oleh Airlangga ia dibuatkan sebuah
pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan), dan bergelar Kili Suci.
Kepergian putri mahkotanya, dari pada berebut takhta menyebabkan Airlangga membagi dua kerajaan kepada kedua anak laki-lakinya, dengan pertolongan seorang brahmana bernama mpu Bharada yang kondang sakti. Kedua kerajaan itu: Janggala (Singhasari) beribukota Kahuripan dan Panjalu (Kadiri) ber-ibukota Daha, dimana Gunung Kawi ke utara dan selatan menjadi batasnya.
Setelah membagi kerajaan, Airlangga mundur diri dan menjadi pertapa dengan nama resi Gentayu, meninggal tahun
1049, dimakamkan di Tirtha di lereng timur gunung Penanggungan dan terkenal sebagai candi Belahan. Tetapi kurang
lebih setengah abad sejak Airlangga mundur dari pemerintahan, tidak ada informasi tentang dua kerajaan yang
dibentuknya itu. Lalu setelah itu hanya Kadiri yang mengisi sejarah, sedangkan Janggala boleh dibilang tanpa
kabar.Airlangga semasa hidupnya dianggap titisan Wisnu, dengan lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah
arca indah yang disimpan di musium Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki garuda.
KERAJAAN KADIRI
Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu dengan prasasti berangka tahun 1104, menganggap sebagai titisan Wisnu seperti
halnya Airlangga, adalah raja Kadiri yang muncul pertama di pentas sejarah.
Selanjutnya Kameswara (1115-1130), bergelar sri maharaja rake sirikan sri Kameswara Sakalabhuwanatustikarana
Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, lencana kerajaan berbentuk tengkorak bertaring yang disebut
candrakapala, dan adanya mpu Dharmaja yang telah menggubah kitab Smaradahana (berisi pujian yang mengatakan
raja adalah titisan dewa Kama, ibukota kerajaan bernama Dahana yang dikagumi keindahannya oleh seluruh dunia,
permaisuri yang sangat cantik bernama sri Kirana dari Jenggala). Mereka dalam kesusasteraan Jawa terkenal dalam cerita Panji. Pengganti Kameswara yaitu Jayabhaya (1130-1160), bergelar sri maharaja sri Dharmmeswara
Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayotunggadewa, lencananya adalah Narasingha, dikekalkan
namanya dalam kitab Bharatayuddha (sebuah kakawin yang digubah Mpu Sedah di tahun 1157 dan diselesaikan oleh
Mpu Panuluh yang juga terkenal dengan kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya).
Pengganti selanjutnya yaitu Sarwweswara (1160-1170), lalu Aryyeswara (1170- 1180) yang memakai Ganesa sebagai
lencana kerajaan, kemudian Gandra yang bergelar sri maharaja sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka
Parakramanindita Digjayottunggadewanama sri Gandra. Dari prasasti dibuktikan bahwa Kadiri mempunyai armada laut.
Tahun 1190-1200 diperintah Srngga, bergelar sri maharaja sri Sarwweswara Triwikramawataranindita Crnggalancana
Digwijayat tunggadewa, dengan lencana kerajaan cangkha (kerang bersayap) di atas bulan sabit.
Raja terakhir yaitu Krtajaya (1200-1222), berlencana Garudamukha, yang riwayat kerajaannya berakhir dan
menyerahkan kepada Singhasari setelah kalah dalam pertempuran di Ganter melawan ken Arok. Perkembangan
kesusasteraan di jaman Kediri sangat bagus, yang selain kitab-kitab tersebut diatas, beberapa hasil lainnya adalah:

- kitab Lubdhaka dan Wrtasancaya karangan mpu Tanakung;
- kitab Krsnayana karangan mpu Triguna;
- kitab Sumanasantaka karangan mpu Monaguna.
Selain itu ada beberapa keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghoa, seperti di kitab Ling-wai-tai-ta yang
disusun Chou K’u-fei di tahun 1178 dan di kitab Chu-fan-chi oleh Chau-Ju-Kua di tahun 1225, misalnya:

- Orang-orangnya memakai kain sampai dibawah lutut , rambut diurai;
- Rumah-rumah bersih dan rapih, lantai berubin hijau dan kuning;
- Pertanian, peternakan, serta perdagangan maju dan kerajaan penuh perhatian;
- Tidak ada hukuman badan, yang bersalah di denda emas;
- Pencuri dan perampok yang tertangkap dibunuh;
- Alat pembayaran adalah mata uang dari emas;
- Orang sakit bukan makan obat tapi mohon sembuh para Dewa dan Buddha;
- Raja berpakaian sutera, sepatu kulit, memakai emas-emasan, rambut disanggul.
- Raja keluar naik gajah atau kereta, diiringi 500-700 prajurit dan rakyat jongkok;
- Raja dibantu 4 menteri, gaji dari menerima hasil bumi/lainnya sewaktu-waktu;
- Selain agama Buda ada agama Hindu;
- Rakyat lekas naik darah dan suka berperang, suka mengadu babi dan ayam;
- Dan lain sebagainya.
KERAJAAN SINGHASARI
Menurut cerita di kitab Pararaton dan Nagarakrtagama, raja pertama bernama sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi yang
populer dipanggil Ken Arok, adalah anak seorang Brahmana bernama Gajah Para dengan Ibu bernama Ken Endok dari
desa Pangkur, yang semula berprofesi sebagai pencuri/penyamun yang sangat sakti dan selalu menjadi buronan alat-
alat negara. Atas bantuan seorang pendeta yang menjadikannya sebagai anak pungut, ia dapat mengabdi kepada
seorang akuwu (setara bupati) yang bernama Tunggul Ametung. Namun akuwu itu kemudian dibunuhnya dan si janda,
Ken Dedes dalam kondisi hamil dikawininya, yang anak itu nantinya diberi nama Anusapati.
Kemudian ia mengambil kekuasaan Tumapel dan setelah cukup pengikutnya ia melepaskan diri dari kerajaan Kadiri,
yang kebetulan di Kadiri ada perselisihan antara raja dan para pendeta, lalu para pendeta itu melarikan diri yang diterima
baik dan dilindungi Ken Arok.

Raja Krtajaya berusaha menindak Ken Arok, tapi dalam pertempuran di Genter pada tahun 1222 Ken Arok menang dan menjadi raja Tumapel dan Kadiri, yang ber Ibukota di Kutaraja. Dari Ken Dedes selain mempunyai anak tiri Anusapati, ia juga mempunyai anak yang diberi nama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari isteri lain, Ken Umang, ia mempunyai anak yang diberi nama Tohjaya.
Dalam tahun 1227 Ken Arok dibunuh anak tirinya, Anusapati, yang menggantikannya sebagai raja. Lalu untuk
mengenang Ken Arok, dibuatkan candi di Kagenengan (sebelah selatan Singhasari) dalam bangunan suci agama Siwa
dan Buda. Sedangkan Ken Dedes yang tidak diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah
yang diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita.
Anusapati/Anusanatha) yang memerintah tahun 1227-1248 dengan aman dan tenteram, dibunuh oleh Tohjaya dengan
suatu muslihat, dan untuk itu Anusapati dimuliakan di candi Kidal (sebelah tenggara Malang). Namun Tohjaya hanya
memerintah beberapa bulan, karena aksi balas dendam dari anak Anusapati yaitu Rangga Wuni. Tohjaya melarikan diri,
namun karena luka-lukanya ia meninggal dunia, dan dicandikan di Katang Lumbang.
Di tahun 1248 Rangga Wuni naik takhta dengan gelar sri Jaya Wisnu wardhana, dan raja Singhasari pertama yang
namanya dikekalkan dalam prasasti, dan ia memerintah bersama sepupunya, Mahisa Campaka (anak dari Mahisa
Wonga Teleng), diberi kekuasaan untuk ikut memerintah dengan pangkat Ratu Angabhaya bergelar Narasimhamurti.
Dikisahkan bahwa mereka memerintah bagai dewa Wisnu dan dewa Indra. Anak Rangga Wuni, Krtanagara, di tahun 1254 dinobatkan sebagai raja, namun ia tetap memerintah terus untuk anaknya, sampai dengan wafatnya dalam tahun 1268 di Mandaragiri, lalu dicandikan di Waleri dalam perwujudannya sebagai Siwa dan di Jayaghu (candi Jago) sebagai Buddha Amoghapasa.
Yang menarik, candi Jago berkaki tingkat tiga tersusunsemacam limas berundak-undak dan tubuh candinya terletak di bagian belakang kaki candi menunjukkan timbulnya kembali unsur-unsur Indonesia, disamping terlihat pula dari relief reliefnya dengan pahatan datar, gambar-gambar orang yang mirip wayang kulit Bali saat ini, dan para kesatriyanya diikuti punakawan (bujang pelawak).
Kertanagara, adalah raja Singhasari yang banyak diketahui riwayatnya dan paling banyak peristiwanya, dimana sang
raja dibantu oleh 3 orang mahamantri (rakryan I hino, I sirikan dan I halu) dan para menteri pelaksana (rakryan apatih,
demung dan kanuruhan), serta seorang dharmadhyaksa ri kasogatan yang mengurusi keagamaan (kepala agama Buda)
dan seorang pendeta yang mendampingi raja, yaitu seorang mahabrahmana dengan pangkat sangkhadhara.
Karena ia bercita-cita meluaskan wilayah kekuasaan, maka ia menyingkirkan tokoh tokoh yang dianggapnya
menentang/menghalangi, yaitu patihnya sendiri bernama Arema/ Raganatha dijadikan adhyaksa di Tumapel yang diganti
oleh Kebo Tengah/Aragani, lalu Banak Wide yang ditugaskan menjadi Bupati Sungeneb (Madura) bergelar Arya Wiraraja.
Di tahun 1275 Krtanagara mengirim pasukan ke Sumatera Tengah yang terkenal dengan nama Pamalayu dan
berlangsung sampai tahun 1292, dimana saat pasukan tiba kembali, Krtanagara sudah tidak ada lagi. Namun prasasti
pada alas kaki arca Amoghapasa yang diketemukan di Sungai Langsat (hulu sungai Batanghari dekat Sijunjung),
diterangkan bahwa di tahun 1286 atas perintah Maharajadhiraja Sri Krtanagara Wikrama Dharmottunggadewa, sebuah
arca Amoghapasa beserta 13 arca pengikutnya dipindahkan dari bhumi Jawa ke Suwarnabhumi. Atas hadiah ini rakyat
Malayu sangat senang terutama sang raja, yaitu srimat Tribuwanaraja Maulawarmmadewa.
Kertanagara dalam tahun 1284 menaklukkan Bali, Pahang, Sunda, Bakulapura (Kalimantan Barat Daya) dan Gurun
(Maluku), sebagaimana diketahui dari Nagarakrtagama. Selain itu, dengan Campa diadakan persekutuan yang diperkuat
dengan perkawinan, sesuai prasasti Po Sah (di Hindia belakang) yang menuliskan bahwa raja Jaya Simphawarman III
mempunyai dua permaisuri yang salah satunya dari Jawa (mungkin saudara Kertanagara).
Sejak tahun 1271 di Kadiri ada raja bawahan, yaitu Jayakatwang yang bersekutu dengan Wiraraja dari Sungeneb yang
selalu memata-matai Kertanagara. Belum kembalinya pasukan Singhasari dari Sumatra dan adanya insiden dengan
Kubilai Khan dari Tiongkok, atas petunjuk dan nasehat Wiraraja dalam tahun 1292 Jayakatwang melancarkan serbuan
ke Singhasari melalui utara untuk membuat gaduh dan dari selatan merupakan pasukan induk. Kertanagara mengira
serangan hanya dari utara, maka ia mengutus Raden Wijaya (anak Lembu Ta, cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja

(anak Jayakatwang) untuk memimpin pasukan ke utara., sedangkan yang dari selatan berhasil memasuki kota dan
Karaton, dimana saat itu Krtanagara sedang minum berlebihan bersama dengan mahawrddhamantri serta dengan para
pendeta terkemuka dan pembesar lain, yang katanya sedang melalukan upacara Tantrayana, terbunuh semuanya,
dimana Krtanagara dimuliakan di candi Jawi sebagai Siwa dan Budda di Sagala sebagai Jina/Wairocana bersama sang permaisuri Bajradewi dan di candi Singosari sebagai Bhairawa.
Memang, sebagaimana Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok yang diketemukan di Surabaya, Krtanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri. Sedangkan dalam
Pararaton dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Raden Wijaya yang sedang mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan diri setelah tahu Singhasari jatuh,
sedangkan Arddharaja berbalik memihak Kadiri. Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang
ke Madura, guna mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb. Atas saran dan jaminan Wiraraja,
Raden Wijaya menghambakan diri ke Jayakatwang di Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang atas bantuan
orangorang Madura dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.
Sementara itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal untuk satu tahun telah
mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan. Di
sini dimanfaatkan Raden Wijaya yaitu menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok menggempur Kadiri, yang akhirnya
Jayakatwang menyerah. Tapi saat tentara Tiongkok sampai di pelabuhan untuk kembali, Raden Wijaya menyerang
tentara Tiongkok sehingga banyak meninggalkan korban sambil terus kembali ke Tiongkok. Dengan bantuan pasukan
Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa
Jayawardhana (1293-1309), mempunyai 4 (empat) isteri, dimana yang tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan yang
termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah berlangsungnya raja-raja Majapahit
selanjutnya.
Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak
membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan. Ia wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu Kalagemet/ Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. Untuk
memuliakannya, Raden Wijaya dicandikan di candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam
satu arca. Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai
Parwati. Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap
Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Krtarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak
Krtarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun
1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukanpasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya. sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi, dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali.
Pengganti selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama BhreKahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1360).
Tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas.Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa (artinya garam dan rempah-rempah) yaitu : bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang Jawa, disebut mutih.
Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343 bersama Adityawarman (putera majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat sebagai Wrddhamantri bergelar arrya dewaraja pu Adutya), yang pernah ditaklukkan Krtanagara tapi telah bebas kembali. Lalu Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.
Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung (Minangkabau) dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun terhadap Gayatri ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu. Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu  Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.
Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit, hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung baik. Sumpah Palapa terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan. Alkisah, hanya tinggal Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 adalah raja Pakwan Pajajaran (anak dari Rahyang Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana) yang belum dapat ditaklukkan majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. Dengan jalan tipu muslihat akhirnya di tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan bubat. Karena perang ini sangat menarik, maka secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana, seperti dibawah ini.
PERANG BUBAT (Menurut Kidung Sundayana)
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana mana. Namun sang raja belum kawin rupanya.
Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.
Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana. Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara ada di hadapannya. Tetapi engkau hanya satu jiwanya yang senantiasa memohon pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tandatanda buruk bahwa diperkirakan
putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada

raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu.
Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan "dihadiahkan" kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan "di pinang" oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung Sindanglaya ini.
Sementara di Jawa Barat telah ada :
1030 : Berdirinya kerajaan nafas hindu : Sunda dengan rajanya Sri Jayabupati.
1190 : Kerajaan Galuh dengan rajanya Ratu Pusaka
1333 : Kerajaan Pajajaran, dengan ibu kota Pakuan. Rajanya Ratu Purnama
Selain sebagai negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar
hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu
Manawasastra, serta disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku. Gajah Mada meninggal tahun 1364, dan digantikan
oleh 4 (empat) orang menteri yang berfungsi untuk mengekalkan negara serta lebih ditujukan kepada kemakmuran
rakyat dan keamanan daerah. Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:

- Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi bengawan Solo dan Brantas;
- Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);
- Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih;
- Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);
- Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);
- Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);
- Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371;
- Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit, dihimpun oleh mpu Prapanca di
tahun 1365;
- Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular;
- Habisnya riwayat Sriwijaya di tahun 1377, yang dibinasakan oleh Majapahit.
Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.
Wikramawardhana (1369-1428) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berperang, yang dikenal dengan nama perang Paregreg, dimana Wirabhumi terbunuh. Disini Tiongkok mengetahui bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan
Barat yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat dari Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang dan Malayu di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama
Islam (1400), juga dianggap majapahit sudah hilang. Demikian daerah-daerah lainnya, dan ada juga yang masih mengaku Majapahit sebagai atasannya tetapi dalam prakteknya tidak banyak hubungan dengan pusat. Sehingga saat Wikramawardhana meninggal di tahun 1428, kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu sudah tidak ada lagi. Ada cerita menarik tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya, dari uraian Ma Huan yang asli dari Tiongkok dan beragama Islam dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat mengiringi Cheng-Ho (utusan kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga ke daerah-daerah lautan selatan, antara lain :

- Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata;
- Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga;
- Rakyat memakai kain dan baju;
- Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat dari emas, cula badak atau
gading;
- Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya;
Biasa memakan sirih; 
- Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu;
- Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara
golongan wanita dan pria;
- Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas sehelai kain, lalu
dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh Dalang);
- Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari baratdan memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pulaberagama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggalbersama anjing mereka.
Setelah wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429 sampai sekitar 1522 tidak banyak diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau. Yang nyata, bintang Majapahit yang tadinya mempersatukan
Nusantara semakin suram dan makin pudar, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang sejak sekitar tahun 1400 berpusat di Malakam disertai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit.
Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundakundak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lainlain.
Suhita digantikan oleh adik tirinya, Krtawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah dan pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti. dari kitab Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti Krtawijaya, tetapi ia berKaraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. Tiga tahun tanpa raja, lalu dilanjutkan oleh Bre Wengker (1456-1466) bergelar Hyang Purwawisesa. Di tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi Singha wikramawardhana, berKaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun.
Dalam tahun 1468 ia terdesak oleh Krtabhumi (anak bungsu Rajasa wardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474. Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Krtabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. Demikian tentang riwayat Majapahit semakin gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa Majapahit di tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke kerajaan Islam di Demak.
Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.
Penerus Majapahit yang tetap di Majapahit (selain Purbawisesa yang beKaraton di Kahuripan) adalah
Kertabumi/Brawijaya, yang memerintah di tahun 1453-1478. Tidak diketahui mengenai perjalanan kerajaannya. Namun ia mempunyai salah satu putra yang bernama raden Patah atau Jin Bun, yang diberi kedudukan sebagi Bupati Demak.
Hanya saja yang menarik, ia mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, lalu masuk agama Islam, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang kepindahan agamanya. Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar 500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak. 
KERAJAAN DEMAK 
Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro
dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas
bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang
berpusat di Demak. Putra lainnya bernama Bondan Kejawan/ Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih (anak
dari hasil perkawinan antara Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan) mempunyai cucu dari anaknya bernama Kyai Ageng
Getas/R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo/Bagus Songgom/Risang Sutowijoyo/Syeih Abdurrahman. Putra lain
dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin/Sampang, mempunyai cucu buyut
bernama raden Praseno yang menjadi adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, yang mana putranya yang bernama
pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar cakraningrat II, sedang putra yang satunya lagi mempunyai anak
yaitu Trunojoyo. Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun yang kawin dengan Pn. Dayaningrat mempunyai 2
(dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo/Ki Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali
kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar
Ia akhirnya juga mampu meruntuhkan Majapahit dan sebagai raja Islam pertama bergelar Sultan Demak ia mencapai
kejayaan, tapi sebagai lambang dari tetap berlangsungnya kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru, semua alat
upacara dan pusaka dibawa ke Demak. Ia wafat di tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau
pangeran Sabrang Lor bergelar Sultan Demak yang hanya 3 tahun memerintah karena meninggal. Lalu ia digantikan
saudaranya yaitu pangeran Trenggono bergelar Sultan Demak yang memerintah sampai tahun 1548. Dalam memerintah
Trenggono mampu memperluas kerajaan sampai di daerah Pase Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana
seorang ulama dari Pase bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan dengan adik raja. Karena
Fatahillah, maka Demak berhasil merebut tempat tempat perdagangan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum
Islam, yaitu Cirebon dan Banten (akhirnya diserahkan Fatahillah oleh Demak).
Di tahun 1522 orang Portugis datang ke Sunda Kalapa (Jakarta sekarang) bekerja sama dengan raja Pajajaran
menghadapi Islam, dimana Portugis diijinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa itu. Lalu di tahun 1527 orang Portugis
datang kembali dimana Sunda Kalapa sudah berubah nama menjadi Jayakarta, dibawah kekuasaan Fatahillah yang
tinggal di Banten, sehingga Portugis kalah perang dan meninggalkan daerah tersebut. Sedangkan Trenggono sendiri
walau berhasil menaklukkan Mataram dan Singhasari, tapi daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan
Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu, yang mana di tahun 1548 ia wafat akibat perang dengan
Pasuruan.
Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono.
Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh
karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian,
habislah riwayat kerajaan Islam Demak. Namun menginformasikan kerajaan Demak, kurang komplit kalau belum
menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa dan keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.
Kedatangan Islam ke JawaDi Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit. kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Wali Sanga (9)
Mereka yang dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat menyebarkan agama Islam diberi julukan Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding kepercayaan/agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga gaib. Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan tasawwuf serta sangat kurang dalam pengajaran fiqh ataupun qalam. Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik.
Menurut kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah, Wali Sanga berganti susunan orangnya sebanyak 5 (lima) kali yaitu :
Dewan I tahun 1404 M :  
- Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik tahun 1419;
- Maulana Ishaq, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura) ;
- Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Triwulan Mojokerto;
- Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465;
- Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak di tahun
1435;
- Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri tahun 1435;
- Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
- Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama;
- Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali
dan wafat di persia tahun 1462.
Dewan II tahun 1436 M :  
- Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai
Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang wafat;
- Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus,
menggantikan malik Isro’il ;
- Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang wafat.  
Dewan III tahun 1463 M : 
- Raden Paku/Syeh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik;
- Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia;
- Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat;
- Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.
Dewan IV tahun 1466 M : 
- Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun 1465 membangun masjid
Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel, menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat;
- Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.
Dewan V : 
- Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang telah wafat; 
- Syeh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi,
ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan
masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan.
- Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat (bunuh diri atau dihukum mati).
KERAJAAN PAJANG
JokoTingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan salah seorang anak
Sultan Prawoto yaitu Arya Pangiri diangkat menjadi adipati Demak. Selain itu, salah seorang yang paling berjasa dalam membinasakan Arya Penangsang yaitu Kyai Ageng Pemanahan (putra dari Kyai Ageng Anis yang mana Anis adalah putra Kyai Ageng Selo) diberi imbalan daerah Mataram (sekitar kota Gede dekat Yogyakarta) untuk ditinggali, yang juga
membuat namanya lebih dikenal dengan panggilan Kyai Gede Mataram. Kyai/Ki Ageng Pemanahan dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, yang usahanya dilanjutkan oleh sang anak yaitu Sutowijoyo (terkenal sebagai ahli peperangan yang nantinya ia lebih dikenal bernana
Senapati ing Alaga/panglima perang), di tahun 1575 meninggal. Sedangkan tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, yang mana pangeran Benowo seharusnya menggantikannya ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya jadi adipati di Jipang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutowijoyo yang dibantu pangeran Benowo, yang menghasilkan Sutowijoyo memindahkan
Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Tapi pengangkatan dirinya sendiri menjadi raja Mataram memperoleh banyak tantangan, karena politik ekspansinya. Kecuali Blambangan yang tetap bertahan dan belum Islam sesuai cita-cita Sutowijoyo, seluruh Jawa termasuk Cirebon dikuasai. Ia yang meninggal di tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, berhasil meletakkan dasar-dasar kerajaan Mataram.
KERAJAAN MATARAM (Islam)
Penggantinya adalah putranya dari perkawinannya dengan ratu Hadi (putri pangeran Benowo) yang bernama Mas
Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi
pemberontakan. Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia wafat di
tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang menggantikan yaitu adipati Martapura yang sakit-
sakitan segera digantikan oleh saudaranya bernama raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646).
Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered. Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I. Akhirnya seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah panji-panji Mataram, yang salah satu cara untuk mengikat para adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram dengan mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah strategi penyerangan.
Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil V.O.C. (Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut menyerang.Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan perahu-perahu berisi
beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras di Cirebon dan Krawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda
serta gudang-gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap pasukan Mataram
wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.
Tanpa lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya mengirim penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di Krawang menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orangorang.
Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagangpedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. Tapi Saat sedang konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin berkuasa di Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan yang dapat ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali. Sementara itu Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan
mengalahkan orang-orang Portugis.
Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa disangka ia wafat (1646),
sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja
besar dan panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi contoh dalam kerajinannya
dalam sholat Jum’at.
Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan tahun matahari (1 tahun = 365 hari)
menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1 tahun= 354 hari), sesuai tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah
tahun Saka 1555 dan tahun Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh dirinya
sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali dengan membawa para ahli
agama untuk menjadi penasehat Karaton dan memperoleh gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.
Pengganti Sultan Agung adalah Mangkurat Agung/Mangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal sebagai Sunan Seda
Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya digantikan oleh Mangkurat Amral / Mangkurat II (1677-1703),
kemudian Mangkurat Mas/Mangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger/Sunan Pakoeboewono I (1708-1719),
lalu Mangkurat Jawi/Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan
memindahkan karaton ke Surakarta (1745-1749). Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-
1788), Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah menjadi 2 (dua), yaitu
satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya
sendiri yang bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).
Putra dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said atau dikenal dengan julukan
pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III,
akhirnya bersedia bersepakat yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa
pengecualian.
Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di pura Mangkunegaran - Surakarta
(1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Gianti. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra
Sultan, selain ada yang menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan dibentuk pura sejenis
Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812 -1828).
Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi
Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat /Babad Giyanti karangan
Yasadipura, yang betul betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram.
Sejak tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik
Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar
Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini
pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A.
Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A.
Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.


Senin, 02 Mei 2011

TANAH JAWA & NABI-NABI

 TANAH JAWI NEGERI PARA NABI

“TANAH JAWA : INILAH NEGERI PARA NABI”, yang telah terkubur oleh sejarah, bahkan oleh mereka yang menamakan diri “PENGANUT KEJAWEN”, dari hasil riset peneliti muda yang tergabung dalam Tim Studi Sains Alqur’an sebagaimana dipublikasikan di situs  dimana mereka telah menyelenggarakan “EKSPEDISI MENJELAJAH NEGERI PARA NABI”, mereka menemukan bahwa situs Nabi Daud dan Sulaiman ada di Jawa Tengah, sedang situs Nabi Nuh ada di Jawa Timur dimana di daerah ini terdapat kembaran Gunung Ararat di Turki yaitu gunung tempat berlabuhnya perahu Nabi Nuh, fosil perahu ini setelah diteliti archeolog Belanda menyimpulkan bahwa perahu tsb terbuat dari kayu jati berkapur, kayu ini hanya ada di Jawa. Setelah fosil kayu ini umurnya diukur melalui tehnik Isotop C14, ternyata Nabi Nuh hidup setelah zaman Nabi Ibrahim dan tempat tinggalnya di Tanah Jawa, fakta ini tentu memerlukan kajian lebih lanjut apakah benar fosil perahu tersebut adalah fosil perahu Nabi Nuh.
Majalah Times edisi 1 Februrari 2010, memuat pernyataan Ravael Grinberg, seorang dosen di Universitas Tel Aviv. Ia mengatakan, “Secara teori, seharusnya Anda sudah mendapatkan sesuatu hanya setelah melakukan penggalian selama enam minggu. Tapi nyatanya setelah dilakukan penggalian tanpa henti selama dua tahun, tidak ada hasil apapun yang memuaskan.”
Times menyebutkan, dalam empat tahun terakhir, berbagai organisasi Yahudi ekstrim sudah mengepung kota Jerussalem untuk melakukan penggalian bawah tanah di sekitar dan bawah Masjid Al Aqsha. Termasuk Organisasi Eilad, yang juga focus bekerja untuk mendirikan pemukiman imigran yahudi di Jerusalem . Selain itu, juga lembaga Eir David yang focus melakukan penggalian di Silwan. Menurut Profesor Finskltain asal Israel , yang juga ilmuwan sejarah di Universitas Tel Aviv, “Mereka yang melakukan penggalian bawah tanah di Jerussalem mencampur adukkan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Eilad meyakini dogma agama bahwa ada peninggalan sejarah Daud di sana , tapi sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
Selain itu, Profesor Yone Mazarahe, juga pakar arkeologi Israel mengatakan, “Eilad tidak menemukan apapun dari penggalian. Bahkan sekedar plang tulisan “Selamat Datang” di Istana Daud, juga tidak ditemukan. Mereka hanya mendasarkan keyakinan pada teks teks yang dianggap suci oleh mereka sebagai panduan penggalian.”
Dari fakta2 ini, bisa saja kita simpulkan bahwa Bani Jawi (suku2 di Nusantara) ini adalah Bani Israel yang tetap beriman kepada Nabi Musa dan mendiami tanah yang dijanjikan (THE PROMISED LAND) yaitu Benua Atlantis yang sekarang disebut Indonesia, sedang Bani Israel yang berdiaspora ke seluruh dunia adalah mereka yang dikutuk oleh Allah karena mendustakan Nabi Musa AS. Adapun Bani Israel yang sekarang menjajah Palestina sebenarnya Yahudi produk rekayasa, maksudnya Bani Israel dari suku ke 13 yaitu SUKU KAZAR, hasil kawin campur Bani Israel yang berdiaspora dengan penduduk lokal dan saat ini posisinya mayoritas. Klaim atas Yerusalem sebenarnya sebuah kekeliruan yang disengaja, padahal Yerusalem, Temple of Solomon dan Taabut yang mereka cari selama ribuan tahun berada di Tanah Jawa yaitu CANDI BOROBUDUR DAN NEGRI SLEMAN di Yogyakarta.
Dalam Alqur’an “taabut” mempunyai arti  “kode rahasia kerajaan” yang disimpan oleh Nabi Daud, saat ini “taabut” tsb sedang dibuka rahasianya melalui candi2 yang dibangun sejak zaman Nabi Sulaiman khususnya “Candi Borobudur”, perlu diingat sebenarnya kata “CANDI” berasal dari kata “SANDI” artinya “KODE RAHASIA”, dengan demikian rahasia jejak para nabi akan segera terkuak setelah ayat Allah berupa tulisan bergambar yang ada pada candi2 di Negeri Sleman di “puzzle”kan dengan ayat2 Allah dalam Alqur’an.
Sebagian besar ummat Islam saat ini terkecoh oleh keyakinan bahwa ” Palestina” adalah negeri yang diberkahi dan Yerusalem adalah kota suci Islam ketiga setelah Makkah dan Madinah, hal ini karena ummat Islam banyak terpengaruh hadits2 Israeliyat khususnya tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Perlu ekstra hati2 dlm mengutip hadits tentang Isra’ Mi’raj karena sebagian besar hadits palsu dan dibuat oleh kaum munafik dari kalangan Bani Israel, para ahli hadits menyebutnya sebagai HADITS ISRAILIYAT. Karena hadits2 inilah ummat Islam di luar Palestina terseret dalam permusuhan dengan Israel dan menjadikan Yerusalem sebagai kota suci ketiga ummat Islam, padahal waktu kanjeng Nabi Isra’ Mi’raj apa yang disebut Masjidil Aqsa sebenarnya adalah Gereja, waktu itu Yerusalem masih dikuasai Roma. Kalo waktu itu dikatakan Nabi menjadi imam shalat berjamaah dengan para Nabi, pertanyaannya shalat apakah gerangan ? Sementara dalam hadits2 Israiliyat tsb dikatakan Isra’ Mi’raj dalam rangka menjemput perintah shalat 5 waktu sebagai hasil transaksi antara Nabi dengan Allah SWT dengan Nabi Musa sebagai konsultannya, pertanyaan berikutnya adalah mengapa harus Nabi Musa yang menjadi rujukan Nabi Muhammad ? Inilah cerdasnya Bani Israel yang telah berhasil menusuk jantung aqidah ummat Islam melalui hadits2 palsunya hingga ummat Islam terpecah belah, energi terkuras habis karena terseret dalam pusaran “Konflik Israel - Palestina”, sementara Bani Israel karena ketekunannya telah berhasil menguasai dunia melalui infiltrasi kesegenap lini kehidupan. Saat ini fokus mereka adalah Indonesia khususnya Tanah Jawa, mengapa Jawa ? Dalam Alqur’an dikatakan bahwa “ULAMA2 (ILMUWAN) BANI ISRAEL” mengenal Alqur’an sebagaimana mereka mengenal anak2nya sendiri, cobalah kita mengambil ibrah dari kemampuan Nabi Daud As dalam teknologi peleburan besi dan manajemen pengelolaan gunung yang diwariskan di Tanah Jawa ( Atlantis ) banyak meninggalkan bangunan2 misteri semisal Candi Borobudur, Piramida2 Mesir dan Piramida Aztek. Dalam peradaban ini para pendirinya adalah 3 sosok yang luar biasa yaitu Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS dan Ratu Bilqis yang masing2 diberi kelebihan oleh Allah SWT. Sampai saat ini negeri kita adalah satu2nya negeri yang paling banyak diwarisi gunung berapi dan deposit besi titanium tak terbatas, yang tersebar di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Besi titanium ini sejak zaman Nabi Daud sampai sekarang digunakan sebagai bahan baku pembuatan senjata khususnya KERIS, besi titanium ini juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan “PESAWAT RUANG ANGKASA”, dan saat ini disekitar Candi Borobudur sedang dipersiapkan berdirinya Perguruan Tinggi Nuklir yang akan mempersiapkan desain dan pembuatan “PESAWAT PIRING TERBANG” oleh Tim SSQ, hanya dengan menguasai teknologi pesawat piring terbang, ummat Islam bakal mampu mengalahkan Zionis Israel dan para pendukungnya yang cenderung semakin destruktif di muka Bumi, Yahudi memang hanya bisa dikalahkan oleh Yahudi beriman karena memang kecerdasan dan ilmunya juga sepadan. Tapi aneh bin ajaib, sekarang ini banyak perusahaan2 skala dunia yang secara tersembunyi berafiliasi dengan Israel berlomba-lomba mengajukan ijin untuk mendirikan pabrik peleburan besi titanium di pantai selatan Jawa, sementara perusahaan2 besar lainnya yang sebagian besar juga milik orang Yahudi, baik Yahudi Eropa maupun Amerika sudah malang melintang menguasai hajat hidup bangsa Indonesia, sepertinya mereka akan mengembalikan penjajahan ala VOC tempo dulu (VOC adalah perusahaan milik Yahudi Belanda yang berhasil menjajah Indonesia). Catatan Borobudur dan Nabi Sulaiman (Lanjutan Tanah Jawa, Tanahnya Para Nabi)
Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa patung Budha yang terletak di candi Borobudur adalah karya umat Budha. Padahal menurut pendapat para peneliti, kemunculan Budha adalah sekitar abad 500 SM, sementara nabi Sulaiman hidup sekitar tahun 900-1000 SM. Jadi bisa saja terjadi umat yang hidup di jaman sesudah nabi Sulaiman membuat replika patung-patung Sulaiman dan akhirnya menjadi rekacipta milik mereka. 34:10. Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud (syailendra = raja gunung)", dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (pandai membuat gamelan dan bersinden/melantunkan syair untuk pujian)

TANAH JAWA : INILAH NEGERI PARA NABI
Yang telah terkubur oleh sejarah, bahkan oleh mereka yang menamakan diri “PENGANUT KEJAWEN”, dari hasil riset peneliti muda yang tergabung dalam Tim Studi Sains Alqur’an sebagaimana dipublikasikan di situs http://www.ssq-dla.com/ dimana mereka telah menyelenggarakan “EKSPEDISI MENJELAJAH NEGERI PARA NABI”, mereka menemukan bahwa situs Nabi Daud dan Sulaiman ada di Jawa Tengah, sedang situs Nabi Nuh ada di Jawa Timur dimana di daerah ini terdapat kembaran Gunung Ararat di Turki yaitu gunung tempat berlabuhnya perahu Nabi Nuh, fosil perahu ini setelah diteliti archeolog Belanda menyimpulkan bahwa perahu tsb terbuat dari kayu jati berkapur, kayu ini hanya ada di Jawa. Setelah fosil kayu ini umurnya diukur melalui tehnik Isotop C14, ternyata Nabi Nuh hidup setelah zaman Nabi Ibrahim dan tempat tinggalnya di Tanah Jawa, fakta ini tentu memerlukan kajian lebih lanjut apakah benar fosil perahu tersebut adalah fosil perahu Nabi Nuh.

Majalah Times edisi 1 Februrari 2010, memuat pernyataan Ravael Grinberg, seorang dosen di Universitas Tel Aviv. Ia mengatakan, “Secara teori, seharusnya Anda sudah mendapatkan sesuatu hanya setelah melakukan penggalian selama enam minggu. Tapi nyatanya setelah dilakukan penggalian tanpa henti selama dua tahun, tidak ada hasil apapun yang memuaskan.”

Times menyebutkan, dalam empat tahun terakhir, berbagai organisasi Yahudi ekstrim sudah mengepung kota Jerussalem untuk melakukan penggalian bawah tanah di sekitar dan bawah Masjid Al Aqsha. Termasuk Organisasi Eilad, yang juga focus bekerja untuk mendirikan pemukiman imigran yahudi di Jerusalem . Selain itu, juga lembaga Eir David yang focus melakukan penggalian di Silwan. Menurut Profesor Finskltain asal Israel , yang juga ilmuwan sejarah di Universitas Tel Aviv, “Mereka yang melakukan penggalian bawah tanah di Jerussalem mencampur adukkan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Eilad meyakini dogma agama bahwa ada peninggalan sejarah Daud di sana , tapi sampai sekarang tak pernah ditemukan.”

Selain itu, Profesor Yone Mazarahe, juga pakar arkeologi Israel mengatakan, “Eilad tidak menemukan apapun dari penggalian. Bahkan sekedar plang tulisan “Selamat Datang” di Istana Daud, juga tidak ditemukan. Mereka hanya mendasarkan keyakinan pada teks teks yang dianggap suci oleh mereka sebagai panduan penggalian.”
Dari fakta2 ini, bisa saja kita simpulkan bahwa Bani Jawi (suku2 di Nusantara) ini adalah Bani Israel yang tetap beriman kepada Nabi Musa dan mendiami tanah yang dijanjikan (THE PROMISED LAND) yaitu Benua Atlantis yang sekarang disebut Indonesia, sedang Bani Israel yang berdiaspora ke seluruh dunia adalah mereka yang dikutuk oleh Allah karena mendustakan Nabi Musa AS. Adapun Bani Israel yang sekarang menjajah Palestina sebenarnya Yahudi produk rekayasa, maksudnya Bani Israel dari suku ke 13 yaitu SUKU KAZAR, hasil kawin campur Bani Israel yang berdiaspora dengan penduduk lokal dan saat ini posisinya mayoritas. Klaim atas Yerusalem sebenarnya sebuah kekeliruan yang disengaja, padahal Yerusalem, Temple of Solomon dan Taabut yang mereka cari selama ribuan tahun berada di Tanah Jawa yaitu CANDI BOROBUDUR DAN NEGRI SLEMAN di Yogyakarta.

Dalam Alqur’an “taabut” mempunyai arti “kode rahasia kerajaan” yang disimpan oleh Nabi Daud, saat ini “taabut” tsb sedang dibuka rahasianya melalui candi2 yang dibangun sejak zaman Nabi Sulaiman khususnya “Candi Borobudur”, perlu diingat sebenarnya kata “CANDI” berasal dari kata “SANDI” artinya “KODE RAHASIA”, dengan demikian rahasia jejak para nabi akan segera terkuak setelah ayat Allah berupa tulisan bergambar yang ada pada candi2 di Negeri Sleman di “puzzle”kan dengan ayat2 Allah dalam Alqur’an. Sebagian besar ummat Islam saat ini terkecoh oleh keyakinan bahwa ” Palestina” adalah negeri yang diberkahi dan Yerusalem adalah kota suci Islam ketiga setelah Makkah dan Madinah, hal ini karena ummat Islam banyak terpengaruh hadits2 Israeliyat khususnya tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Perlu ekstra hati2 dlm mengutip hadits tentang Isra’ Mi’raj karena sebagian besar hadits palsu dan dibuat oleh kaum munafik dari kalangan Bani Israel, para ahli hadits menyebutnya sebagai HADITS ISRAILIYAT. Karena hadits2 inilah ummat Islam di luar Palestina terseret dalam permusuhan dengan Israel dan menjadikan Yerusalem sebagai kota suci ketiga ummat Islam, padahal waktu kanjeng Nabi Isra’ Mi’raj apa yang disebut Masjidil Aqsa sebenarnya adalah Gereja, waktu itu Yerusalem masih dikuasai Roma. Kalo waktu itu dikatakan Nabi menjadi imam shalat berjamaah dengan para Nabi, pertanyaannya shalat apakah gerangan ?
Sementara dalam hadits2 Israiliyat tsb dikatakan Isra’ Mi’raj dalam rangka menjemput perintah shalat 5 waktu sebagai hasil transaksi antara Nabi dengan Allah SWT dengan Nabi Musa sebagai konsultannya, pertanyaan berikutnya adalah mengapa harus Nabi Musa yang menjadi rujukan Nabi Muhammad ? Inilah cerdasnya Bani Israel yang telah berhasil menusuk jantung aqidah ummat Islam melalui hadits2 palsunya hingga ummat Islam terpecah belah, energi terkuras habis karena terseret dalam pusaran “Konflik Israel - Palestina”, sementara Bani Israel karena ketekunannya telah berhasil menguasai dunia melalui infiltrasi kesegenap lini kehidupan.

Saat ini fokus mereka adalah Indonesia khususnya Tanah Jawa, mengapa Jawa ?
Dalam Alqur’an dikatakan bahwa “ULAMA2 (ILMUWAN) BANI ISRAEL” mengenal Alqur’an sebagaimana mereka mengenal anak2nya sendiri, cobalah kita mengambil ibrah dari kemampuan Nabi Daud As dalam teknologi peleburan besi dan manajemen pengelolaan gunung yang diwariskan di Tanah Jawa ( Atlantis ) banyak meninggalkan bangunan2 misteri semisal Candi Borobudur, Piramida2 Mesir dan Piramida Aztek. Dalam peradaban ini para pendirinya adalah 3 sosok yang luar biasa yaitu Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS dan Ratu Bilqis yang masing2 diberi kelebihan oleh Allah SWT.

Sampai saat ini negeri kita adalah satu2nya negeri yang paling banyak diwarisi gunung berapi dan deposit besi titanium tak terbatas, yang tersebar di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Besi titanium ini sejak zaman Nabi Daud sampai sekarang digunakan sebagai bahan baku pembuatan senjata khususnya KERIS, besi titanium ini juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan “PESAWAT RUANG ANGKASA”, dan saat ini disekitar Candi Borobudur sedang dipersiapkan berdirinya Perguruan Tinggi Nuklir yang akan mempersiapkan desain dan pembuatan “PESAWAT PIRING TERBANG” oleh Tim SSQ, hanya dengan menguasai teknologi pesawat piring terbang, ummat Islam bakal mampu mengalahkan Zionis Israel dan para pendukungnya yang cenderung semakin destruktif di muka Bumi,

.........Yahudi memang hanya bisa dikalahkan oleh Yahudi beriman karena memang kecerdasan dan ilmunya juga sepadan.........

Sekarang ini banyak perusahaan2 skala dunia yang secara tersembunyi berafiliasi dengan Israel berlomba-lomba mengajukan ijin untuk mendirikan pabrik peleburan besi titanium di pantai selatan Jawa, sementara perusahaan2 besar lainnya yang sebagian besar juga milik orang Yahudi, baik Yahudi Eropa maupun Amerika sudah malang melintang menguasai hajat hidup bangsa Indonesia, sepertinya mereka akan mengembalikan penjajahan ala VOC tempo dulu (VOC adalah perusahaan milik Yahudi Belanda yang berhasil menjajah Indonesia).

WALLOHU A'LAM BI SHOWAB......  

Minggu, 01 Mei 2011

AKSARA JAWA


Islam dan Budaya Jawa

Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa


Prof. Dr. Simuh
(acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 )

Dari uraian judul seminar selintas di bagian depan, terbayang bahwa tidak ada benturan yang berarti antara Islam dan budaya Jawa. Bahkan antara kedua belah pihak nampak saling mendukung dan saling membutuhkan. Para penyebar Islam yang umumnya dipimpin para sufi tidak punya ilmu untuk memerintah dan tidak ingin merebut pemerintahan dari tangan raja-raja Jawa.

Mereka hanya membutuhkan perlindungan ataupun bantuan dari pemerintah. Demikian pula para raja-raja Jawa sangat membutuhkan dukungan umat Islam yang sejak akhir kerajaan Majapahit telah merupakan kekuatan yang nyata. Bagi masyarakat pesantren, agama adalah nilai nomor satu dan segalanya; sebaliknya para penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa, kedudukan dan kekuasaan politik yang nomor satu dan segalanya.

Bagi pendukung sastra budaya Kejawen yang berpusat dilingkungan kerajaan-kerajaan Jawa di Daerah pedalaman, agama adalah nomor dua. Agama apa saja tidak masalah asal bisa dimanfaatkan untuk memperkokoh kedudukan dan kekuasaan politik mereka. Maka sesudah Sultan Agung berhasil mematahkan kesultanan pesisiran yang mendapat dukungan masyarakat pesantren, segera menyadari perlunya menetapkan strategi budaya untuk menghubungkan dua lingkungan budaya. Yakni lingkungan budaya pesantren dengan sastra budaya agama yang berbahasa Arab; dan lingkungan budaya Kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat dalam lingkungan istana kerajaan-kerajaan Jawa. Strategi untuk dan membaurkan unsur-unsur Islam dalam budaya Jawa yang berpusat dalam budaya Jawa dimulai dengan mengganti perhitungan tahun Saka yang berdasar perjalanan matahari, menjadi perhitungan tahun Jawa yang berdasar perjalanan bulan, dan disesuaikan dengan perhitungan tahun Hijriyah. Mingguan Hijriyah yang terdiri dari tujuh hari, diintegrasikan dengan Mingguan Jawa yang terdiri dari lima harian, menjadi Senen Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Demikian nama bulan-bulan Jawa disesuaikan dengan nama bulan Hijriyah, menjadi Sura, Mulud, dan seterusnya.

Strategi yang dicanangkan Sultan Agung diatas ternyata menggairahkan para sastrawan Kejawen untuk menekuni pokok-pokok ajaran Islam untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur ajaran Islam untuk memperkaya pengembangan sastra Jawa. Dari ketekunan ini para sastrawan Jawa segera mengenal bahwa ajaran Islam telah berkembang cukup komplek. Dari aspek syariat formal yang sering mereka nilai kaku dan formalis legalis, ternyata juga memiliki aspek ajaran filsafat sufisme yang amat halus dan kaya-raya. Dan kemudian aspek filsafat mistik sufisme yang sangat menarik perhatian mereka, mereka sadap dan mereka olah untuk memperhalus dan memperkaya sastra budaya Jawa. Maka muncullah berbagai macam sastra suluk Jawa yang dituangkan dalam sekar macapatan, semisal "Suluk Quthub", "Suluk Sukma Lelana", "Suluk Seh Amongraga", dan lain-lainnya. Cerita-cerita serat babad, seperti "Babad Demak", "Babad Tanah Jawa", "Babad Tapel Adam", dan lain-lainnya, baik berbentuk prosa (gancar) ataupun puisi (sekar macapat), "Serat Centhini", dan lain-lainnya, yang umumnya diungkap dalam sekar macapat.

Kemudian dalam masa kebangkitan dan pembaharuan bahasa dan sastra Jawa halus pada zaman krida Kapujanggan Surakarta, pertumbuhan bahasa dan Sastra Jawa Baru mencapai puncak kesuburan dan keagungannya. Zaman itulah kelahiran bahasa dan sastra jawa baru atau Klasik. Yakni pada zaman sesudah pemerintah kolonial Belanda dengan tipu dayanya berhasil memecah kerajaan Mataram jadi tiga negara gurem, Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Dalam perpecahan itu melalui palihan negara inilah Belanda berpura-pura jadi penengah untuk menelanjangi seluruh kekuasaan sosial-politik dan pemerintahan raja-raja Jawa. Maka sejak masa perpecahan itu, walaupun para raja masih dibolehkan memakai sebutan Sunan atau Sultan, namun pada hakekatnya tinggal sebagai pensiunan pegawai pemerintah kolonial Belanda semata. Dan karena uang pensiun para raja waktu itu cukup lumayan, maka sebagai kompensasi diangkatlah para pujangga istana untuk mempertahankan wibawa dan kebesaran para raja dan keluarganya melalui karya sastra.

Maka timbullah kebangkitan dan pembauran sastra-sastra Jawa kuna digubah kembali dalam sastra Jawa baru dan diperhalus dengan unsur-unsur dari ajaran sufisme dalam Islam. Dari krida para pujangga dan sastrawan itulah mencuatnya sastra Jawa Baru sebagai puncak kebesaran sastra Jawa. Dikatakan puncak kebesaran sastra Jawa karena pada akhir zaman kapujanggaan bermulalah zaman baru (zaman ilmiah) dan dominasi bahasa Indonesia. Yakni zaman munculnya era Pujangga Baru yang meneriakan sastra budaya yang rasional, bukan zaman mistik lagi.

Jadi dalam konpensasi untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui karya sastra masa itu, para pujangga menggubah sastra-sastra Jawa kuna dan dibumbui dengan sadapan dan olahan unsur-unsur Islam Sufi dalam karyanya, agar karyanya bisa diterima baik masyarakat pesantren ataupun Kejawen. Kerja para sastrawan Kejawen sangat berjasa dalam pengislaman sastra dan bahasa Jawa. Maka bahasa dan sastra Jawa baru semacam "Serat Centhini", "Serat Wedhatama", "Serat Wulangreh", "Serat Sanasunu", "Babad Tanah Jawi", "Babad Demak", "Serat Ambiya", "Serat Menak Jayengrana", "Serat Paramayoga", "Wirid Hidayat Jati", berbagai macam sastra suluk, dan lain-lainnya, sangat berjasa dalam membuka dan mendekatkan hati masyarakat dengan pesantren yang sangat tertarik dan sangat bangga dengan Dongeng Walisanga, karya dalam cerita Babad Tanah Jawa, Babad Demak, yang sebenarnya hanya cerita-cerita rekaan para sastrawan Kejawen. Bahkan hingga dewasa ini para kiai belum bisa membedakan antara 'Sejarah' dengan 'Cerita-cerita Dongeng Walisanga' bikinan para sastrawan zaman Mataram di atas, apalagi masyarakat akar rumputnya. Pengaruh sufisme memang sangat menghambat pertumbuhan cara berfikir ilmiah.

Zaman penyebaran Islam ke Indonesia memang zaman dominasi Islam Sufi, yang ditandai dengan kebangkrutan dan kemunduran cara berfikir ilmiah di mana muncul pemeo bahwa pintu ijtihad telah ditutup, yang berarti tidak ada mujtahid lagi. Jadi para Kiai penyebar agama Islam di Jawa, disamping sangat sibuk mengkaji kitab-kitab kuning, juga kurang mengerti tentang masalah strategi kebudayaan. Bagi para Kiai pengikut tarekat yang penting adalah menyiarkan agama dan mengajar mengaji. Sebaliknya para sastrawan dan pujangga Kejawen, mereka ini harus berkarya, dan untuk mengembangkan sastra kejawen masa itu (zaman Islam) di samping dengan mengubah cerita-cerita Jawa Kuna, perlu pula diperkaya dan diperhalus dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur Islam di samping pelaksanaannya strategi kebudayaan, juga merupakan sumber bahan-bahan baru bagi karya-karya mereka. Strategi ini bisa dipandang sebagai peng-Islam-an warisan sastra Jawa agar dapat dipasarkan di lingkungan masyarakat pesantren.

Usaha ini berhasil mencuatkan perkembangan sastra Jawa Baru, di mana bahasa dan sastra Jawa menjadi semakin bergaya feodal dengan menciptakan bahasa Jawa ngoko (untuk klas rendahan), kromo untuk (menghormati orang-orang tua), dan kromo inggil (untuk menghormati klas priyayi). Penciptaan cerita mitos tentang Walisanga di atas, oleh para pujangga Kejawen berhasil pula menyodorkan 'mitologi Walisanga', sekaligus menyodorkan proses peralihan zaman, dari zaman Kabudan (zaman Majapahit, Hindu) ke zaman Kewalen (zaman Islam). Maka pada zaman Kewalen (zaman Islam), apabila ada priyayi atau orang bertapa yang memberi wangsit (wahyu) bukan dewa lagi, tetapi 'Sunan Kalijaga (Wali)'.

Wayang yang ceritanya bersumber dari serat 'Mahabarata' dan 'Ramayana' yang jelas-jelas Hinduisme saja dicoba untuk di-Islamkan. Misalnya dikatakan bahwa wayang itu bikinan para Wali, dan bahwa raja Ngamarta punya azimat yang sangat keramat, yaitu 'serat Kalimasada' (Kalimat Syahadat). Lebih aneh lagi cerita dalam 'Serat Paramayoga' karya Ranggawarsita. Di dalam serat ini diceritakan bahwa Iblis punya anak perempuan bernama Dajlah. Pada suatu ketika Dajlah disulap oleh Iblis, punya rupa seperti isteri nabi Sis, putra Nabi Adam. Kemudian isteri Nabi Sis disembunyikan Iblis, dan Dajlah bisa tidur bersama dengan Nabi Sis hingga mengandung, dan punya anak laki-laki dinamakan Sayid Anwar (berupa cahaya).

Karena Sayid Anwar punya darah Iblis, maka tidak patuh pada ayahnya, pergi mengembara ke Timur atau India, dan menurunkan para Dewa dalam Hinduisme (dalam cerita wayang).

Dengan cerita itu diterangkan bahwa para raja Jawa punya silsilah alur kekanan keturunan Nabi-nabi dalam Islam, sedang alur kekiri keturunan Dewa-dewa Hindu. Cerita ini adalah contoh kompensasi untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui karya sastra sesudah kekuasaannya ditelanjangi pemerintah kolonial Belanda.

Contoh lain misalnya dalam "Wedhatama - Mangkunegara IV" mengatakan:
Nulada laku utama / tumraping wong Tanah Jawi / wong Agung ing Ngeksi ganda / Panembahan Senapati / Kapati amarsudi / sudaning hawa lan nafsu / pinesu tapa brata / tanapi ing siang ratri / amamangun karyenak tyasing sasama // Wikan Mengkoning samodra / kederan wus den ideri / kinemat kamot ing driya / rinegem sagegem dadi / dumadya angratoni / nenggih Kangjeng Ratu Kidul / ndedel nggayuh nggegana / umarak marek maripih / sor parabawa lan Wong Agung Ngeksiganda // Prajanjine abipraya / saturan-turune wuri / mangkono trahing ngawirya / yen amasah mesu

budi / dumadya Glis dumugi / iya ing sakarsanipun / wong Agung Ngeksiganda / nugrahane prapteng mangkin / trah-tumareh darabe padha wibawa //

Artinya :
Bagi orang Jawa, contohlah laku yang luhur dari raja Mataram, Panembahan Senapati. Beliau ahli tapa brata, suka bertarak mengendalikan hawa-nafsu, yang dilakukan siang dan malam. Beliau suka menyenangkan hati sesama.


Panembahan Senapati telah menguasai rahasia apa yang ada di darat dan lautan telah tercakup dalam kalbu beliau. Maka Nyai Rara Kidul yang merajai segala makhluk halus di laut selatan tunduk di bawah kebesaran Panembahan Senapati, dan berjanji akan menjaga dan melindungi raja-raja keturunan Sang Panembahan.


Itulah Sang Panembahan yang memang keturunan priyayi luhur, bila menjalankan laku prihatin tentu segera terkabul segala keinginannya. Dan barakahnya mensawabi keturunan-keturunannya.

Ajaran di atas menunjukkan bahwa Mangkunegara IV berusaha agar orang-orang Jawa mengambil contoh tauladan laku utama kepada tokoh-tokoh orang Jawa sendiri, yakni Panembahan Senapati. Jadi tidak perlu jauh-jauh mencontoh kehidupan Nabi seperti halnya para santri yang kearab-araban. Jadi muatan politik untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui bidang sastra dan budaya Jawa sangat kentara.

Demikianlah keunikan interaksi antara Islam dan budaya Jawa. Dalam lingkungan budaya pesantren yang terjadi adalah peng-Islam-an secara alamiah unsur-unsur warisan kepercayaan dan tradisi-tradisi lama sehingga keduanya bisa hidup berdampingan dalam kalangan masyarakat pesantren tradisional. Sebaliknya adalah kalangan masyarakat Kejawen yang berpusat di istana-istana kerajaan Jawa, muncul kegairahan para pujangga dan sastrawan untuk mempertahankan dan memperhalus warisan sastra budaya lama dan di-Islamkannya sastra budaya Jawa, di samping karena kebutuhan untuk mencipta karya-karya baru, juga untuk menyesuaikan dengan tuntutan peralihan Zaman Kabudan ke Zaman Kewalen. Sastra budaya Jawa yang telah dipoles dengan unsur-unsur Islam (telah di-Islam-kan), penulis sebut sebagai Sastra Budaya Islam Kejawen (Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa menamakannya Sistem Budaya Agami Jawi). Sastra Budaya Islam kejawen ini sangat besar pengaruhnya lantaran dapat mengakrabkan masyarakat Kejawen dengan agama Islam dan menjelmakan jadi satu varian Islam Kejawen, di samping varian Islam Santri. Jadi masyarakat Kejawen sebelum sempat di-Islam-kan para santri sudah di-Islamkan para sastrawan Jawa Melalui sastra budaya Islam Kejawen.

Menurut Koentjaraningrat :"Keyakinan orang Jawa yang beragama Agami Jawi terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal itu dituangkan dalam suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos" (Koentjaraningrat, 1984:322).

Seterusnya Koentjaraningrat mengatakan sebagai berikut :

'Sistem keyakinan Agami Jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah'

Dalam hampir setiap ritus dan upacara, pada waktu mengadakan pengorbanan, sajian, atau slametan, seorang Jawa mengucapkan nama Allah, mereka juga mengucapkan nama Nabi Muhammad, yang dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai berikut: "Kangjeng Nabi Muhammad Ingkang Sumare Ing Siti Medinah …"

Kesusastraan yang lebih disukai oleh para penganut Agami Jawi adalah kesusastraan Islam yang mengandung unsur-unsur mistik atau yang bersifat kepahlawanan, seperti cerita-cerita Menak (lihat halaman 290) dan cerita-cerita mengenai peristiwa-peristiwa khusus dalam kehidupan Nabi Muhammad, seperti cerita mengenai lahirnya, pernikahannya dengan Dewi Ngatijah (‘Adijah) di Mekah, mengenai hijrahnya, perang-perangnya, dan terutama mengenai kenaikan Nabi Muhammad ke Surga. Semua cerita itu termaktub dalam buku Serat Muhammad, sebuah buku puisi dengan syair-syair yang harus dibaca dengan lagu macapat.

Buku itu sangat banyak dibaca dan dimiliki penduduk desa di Jawa Tengah dan Timur sejak buku itu diterbitkan pada tahun 1891 (Koentjaraningrat, 1984 : 324-325).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa warisan Islam Kejawen ke-Islamannya masih pasif, belum sadar menjalankan shalat lima waktu, namun telah merasa berada di bawah panji-panji agama Islam. Yakni mereka telah di-Islamkan oleh lingkungan sastra budaya Islam Kejawen kreasi para pujangga Kejawen sendiri, sebelum ke-Islamannya mereka dimantapkan oleh lingkungan budaya pesantren. Itulah keunikan interaksi Islam dan Budaya Jawa, yakni terjadi proses saling menunjang dan saling membutuhkan.

Dalam pemerintahan Presiden Soekarno yang dengan konsep politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) berusaha meminggirkan politik Islam; demikian pula periode pertama politik Presiden Soeharto yang berusaha meminggirkan kekuatan politik Islam dengan asas tunggalnya, para pendukung Islam Kejawen masih nampak takut-takut memantapkan ke-Islaman mereka. Namun kemudian dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia tahun 1990M, dan Soeharto butuh dukungan kekuatan Islam, muncul kegairahan penganut Islam Kejawen untuk memantapkan ke-Islamannya dengan shalat lima waktu

Selasa, 26 April 2011

MAJAPAHIT (1)

MAJAPAHIT SELAYANG PANDANG

Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.

Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram. 
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan. 
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
  1.         * Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
  2.         * Prabu Brakumara
  3.         * Prabu Brawijaya I
  4.         * Ratu Ayu Kencanawungu
  5.         * Prabu Brawijaya II
  6.         * Prabu Brawijaya III
  7.         * Prabu Brawijaya IV
  8.         * dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya (bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha. 
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina. 
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:
Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478. 
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Babad Tanah Jawi, merupakan karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.
Buku ini telah dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Banyak versi

Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.
Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

SERAT BABAT TANAH JAWI (Versi PAkubowono VI)

 Munggeng sarkara ring ukara nis,
sasmita tan sumukeng pustaka,
kang tyas rujit karejete,
lir antaka kawantu ,
Murwisesaning Yyang kaeksi,
kang nitah amamatah,
ing boga sawegung,
kang amurwa sifat purba,
kang ambagi sagala isining bumi
nimpuni paripudya.

Kang asih mring rahsanya ngasihi,
mangka manggala para dinuta,
diperig rat wuryaning rate,
respatikang rinasul,
warana ris nayakeng bumi,
kuneng awit kawangwang,
wawangson winangun,
rawining rat nusa Jawa,
kinarsakken dinawa supaya dadi,
manfangat winasiyat.

Mangka pangenget amemengeti,
wajib sajarahing tanah Arab,
tuhu ing Jawa tan pae,
pamilanging luluwur,
pan ingunikalimosadi,
pusaka pinustaka,
ing karsa sang prabu,
Pakubuwana kaping pat,
pinrih aja parbatan wit carita di,
ayya nanggung rekasa.

Rikang nalika mreteng palupi,
limalas Ngakhad Rabiyulawal,
kanem mangsa lifwarsane,
Von wuku Julungarum,
margeng nata kaswareng dasih,
pareng ingkang sengkala,
mugya Hyang Aruhur,
marma martana nugraha,
mawantua safangat si murteng bumi,
mring sang kretarteng praja.

Purwaning wasita kang tinati,
sajarahing nata kina-kina,
ing nusya ]awa babade,
dhihin ingkang luluhur,
Nabi Adam putra Esis,
Esis putra Nurcahya,
Nurcahya asunu,
iya mangaran Nurrasa,
sang Nurrasa ya aputra sanghyang,
Wening aputra sanghyang Tunggal.

Santo saa ri ward ay a dining,
muktamate carita punika,
winangun lawan’kususe,
tinurut urutipun,
malar dadya tepa palupi,
rikang karsa amarna,
nenggih jeng Sinuhun,
Pakubuwana ping sapta,
angluluri anggiting rama narpati,
piririhsapangatira.

Tumeraha trus ing wuri-wuri,
warananing murweng kawiryawan,
wahyaning wahyu wiyose,
mawantua rahayu ..,
yuwanane dennya ngayomi,
ring wadya sadayanya,
kasub sabiyantu,
aywa na sangsayanira,
amanggiha suka arja ,
dining dana narendra.

Nihari nalika marteng palupi,
Ttimpak Wage ping gangsal ing Rajab,
lumaksaneng taun Ehe,
Sancaya mangsa catur,
Mandhasiya den-sengkalani,
dadirasa sabdendra,
muga Hyang kang ruhur,
marma martana nugraha,
inistura ing rahmat sang murbeng bumi.

Nanging ta ingkang wayah ing benjing,
kangjeng Panembahan Purbaya,
punika kang madeg rajeng,
umadegipun ratu,
Ngadipala puranireki,
langkung sangsanira,
rikang purwanipun,
wesana luhur kalintang,
anglangkungi ing sama-samaning aji,
umadeg adilira.

………….
sawingking tuwan besuk,
ingkang pasthi umadeg aji,
inggih wayah paduka,
p a nje nenganipun,
ngadhaton ing Adipala,
kilen lepen Semanggi pecane benjing,
sangsaya karatonnya.

Nanging purwane kewala benjing,
sangsayane ingkang panjenengan,
way ah paduka ing tembe,
dining wesananipun,
apan madeg nata dibya di,
netepi adil ing Hyang,
tuhuning pinunjul,
ing sasama-sama nata,
tanah sabrang tan ana kang nyanyameni,
jenenge wayah tuwan.

BABAD TANAH JAWA (VERSI DEMAK)

Babad adalah cerita rekaan (fiksi) yang didasarkan pada peristiwa sejarah, dimana penulisannya biasanya dalam bentuk macapat (tembang/puisi/syair). Salah satu babad yang sangat terkenal adalah Babad tanah jawa, dimana babad ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Meskipun syarat dengan peristiwa sejarah, sifatnya yang fiksi menempatkan babad sebagai referensi sejarah-imajinatif. Babad memiliki sifat religio-magis dan pekat dengan imajinasi. Sifat itu membuat ahli sejarah berada dalam ragu untuk memakai babad sebagai sumber sejarah yang sahih, dan penggunaannya dalam menggali sejarah menuai pro dan kontra. S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial (2004) mengungkapkan babad merupakan problematik dalam historiografi modern. Para sejarawan kerap memahami babad sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam tendensi subjektif. Para sejarawan yang menolak peran babad sebagai sumber sejarah memiliki argumen bahwa babad rentan dengan bias dalam menggambarkan fakta-fakta sejarah. Babad cenderung menjadi percampuran dari fakta dan mitologi. Para sejarawan yang akomodatif justru menerapkan metode dan metodologi tertentu untuk menjadikan babad sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang sumber-sumber kolonial.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, babad Tanah Jawi merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Jawa, salah satu diantaranya adalah sejarah Kesultanan Demak Bintoro. Di salah satu bab dalam babad tanah jawa secara singkat diceritakan sejarah berdirinya Kesultanan demak, bagamana perjalannya, dan bagamaimana kerajaan islam pertama di jawa ini berakhir.
Berikut ini adalah terjemahan bebas dari salah satu bab dalam babad tanah jawa yang berisikan kisah kesultanan demak bintoro. Babad tanah jawa yang diambil di sini adalah Babad tanah jawa yang digubah oleh L. VAN RIJCKEVORSEL -Directeur Normaalschool Muntilan dibantu oleh R.D.S. HADIWIDJANA Guru Kweekschool Muntilan yang diterbitkan pada tahun 1925.
Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang +/- tahun 1500 - 1582
Dimulai di tanah jawa ada agama islam pada tahun antara 1400-1425.
Ditahhun 1292 di tanah Perlak di pulau Sumatra sudah ada orang islam; pada tahun 1300 ada orang islam tiggal di Samudra Pasai. Di penghujung abad ke 14 di Malaka juga sudah ada orang islam. Orang Islam tersebut berasal dari Gujarat. Dari malaka itu, agama Islam tersebar ke Tanah Jawa, Tanah China, Indhiya Buri dan Indhiya Ngarep. Yang menyebarkan islam di Jawa pertama kali adalah Pedagang Jawa dari Tuban dan Gresik, yang sering berdagang di Malaka, mereka belajar agama islam, sehingga islam terkadang agak dipaksa. Para pedagang jawa tadi pulang ke Jawa Timur, pedagang Indhu dan Persia juga ada yang ikut masuk ke sana dan ikut menyebarkan agama islam kepada Masyarakat. Yang terkenal adalah Maulana Malik Ibrahim (Berkebangsaan Persia), meninggal di Gresik pada tahun 1419. Hingga sekarang makamnya masih ada.
Setelah kekuasaan kerajaan Majapahit semakin lama semakin surut, para bupati di pesisir merasa makin besar kekuasaannya. Berani melakukan tindakan sekehendaknya. Para bupati tersebut sepertinya telah memeluk islam sejak memasuki abad 16 (tahun 1500 - 1525). Oleh sebab itu kerap terjadi peperangan dengan para raja agama indhu yang berada di jawa bagian tengah.
Menurut Cerita: Sang Prabu Kertawijaya Majapahit itu telah menikah dengan Putri dari Cempa (Tanah Indhiya Buri). Putri Tersebut adalah bibinya Raden Rahmat atau yang dikenal dengan Sunan Ampel (dekat Surabaya). Sunan Ampel punya anak laki-laki satu yang bernama Sunan Bonang, dan Satu anak perempuan bernama Nyai Gedhe Malaka. Nyai Ghede Malaka itu mertua Raden Patah atau Panembahan Jimbun, yaitu yang disebut Sultan Demak Pertama.
Sunan Ngampel dan Sunan Bonang itu termasuk para wali. Para wali itu yang terkenal : Sunan Giri (sebelah selatan Gresik), ada di sana yasa kedhaton dan Masjid; Ki Pandan Arang (di Semarang) dan Sunan Kali Jaga (di Demak). Pada tahun 1458 di Demak sudah ada Masjid bagus.
Di antara para bupati di pesisir, Pati Unus itu yang paling berkuat. Pati Unus juga disebut Pangeran Sabrang Lor. Dia putra Raden Patah atau Panembahan Jimbun. Tahun 1511 Pati Unus menguasai Jepara, pada tahun 1513 menyerang Malaka. Persiapan yang dilakukan dalam rangka penyerangan tersebut membutuhkan waktu tujuh tahun. Dan bisa mengumpulkan kapal hingga sembilan puluh dan 12 ribu prajurit, juga meriam yang sangat banyak. Akan tetapi perlawanan Portugis sangat sengit, hingga Pati Unus dipaksa mundur pulang tanpa hasil.
Pati Unus pada tahun 1518 juga mengalahkan Majapahit, tapi majapahit waktu itu memang tidak sebesar dulu. Kotanya tidak dirusak, hanya pusaka kerajaan dibawa ke Demak serta Pati Unus mengaku menanti Ratu Majapahit.
Pada tahun 1521 Pati Unus meninggal masih muda dan tidak meninggalkan anak. Yang menggantikannya adalah adik yang tinggal satu yaitu Raden Trenggana, karena adiknya yang satu: Pangeran Sekar Seda Lepen, telah dibunuh oleh anaknya Raden Trenggana yang dijuluki Pangeran Mukmin.
Semasa pemerintahan Sultan Trenggana (Tahun 1521 - 1550) Kerajaan Demak sangat berkuasa sekali, Menguasai tanah Jawa Barat, kota-kota di pesisir utara dan juga merebut jajahan majapahit, serta kerajaan Supit Urang (Tumapel) juga menjadi diperintah oleh Demak. Sementara Blambangan itu milik Bali.
Pelabuhan milik Demak banyak yang ramai,seperti Jepara, Tuban, Gresik, dan Jaratan. Gresik dan Jaratan yang paling ramai, orang yang tinggal di sana ada 23 ribu.
Pada tahun 1546 Sunan Gunung Jati dengan Sultan Trenggana ingin menyerang Pasuruhan. Kota Pasuruhan Lalu dikepung oleh bala tentara, akan tetapi belum sempat menyerang, pengepungan dibatalkan, karena Sultan Trengganan meninggal dicelakai oleh salah seorang saudara santana.
Anak Sultan Trenggana banyak, Anak-anaknya menikah dengan bangsawan - bangsawan besar. Ada yang menikah dengan bupati di Pajang yang bernama Adiwijaya, yaitu Mas Karebet, Ki Jaka Tingkir atau Panji Mas.
Anak Sultan Trenggana ada dua: Pangeran Mukmin atau Sunan Prawata, dan Pangeran Timur yang nantinya menjadi adipati di Madura. Sunan Prawata itu yang membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen.
Anak Pangeran Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang ingin balas dendam kematian bapaknya. Sejak usaha membunuh Pangeran Mukmin beserta istri, kemudian anak menantu Sultan Trenggana tidak berhasil, justru Arya Panangsang diperangi kalah dan mati.
Adiwijawa kemudian menguasai Tanah Jawa: membawa pusaka kerajaan ke Pajan dan kemudian diangkat Sultan oleh Sunan Giri. Ketika Adiwijaya menjadi raja di Pajang, Blambangan dan Panarukan dimiliki Raja Agama Syiwah di Blambangan, yang juga memerintah Bali dan Sumbawa (tahun 1575)
Jajahan-jajahan di pajang diperintah oleh pangeran (adipati) yaitu : Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Pemalang (Tegal), Purbaya (Madiyun), Blitar (Kedhiri), Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedhu bagian selatan barat, sebelah barat Bengawan Solo.
Ada di Tanah Pasundhan kerajaan Pajang hampir tidak punya kekuasaan, karena pada tahun +/- 1568 tanah Banten dimerdekakan oleh Hasanuddin mejadi tanah kesultanan.

BABAD TANAH JAWI ( Versi Hoesein Djajaningrat)
Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi! Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722. Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar. Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai jaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng. Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini. Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli beneran karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa