majapahit2010

Minggu, 01 Mei 2011

Islam dan Budaya Jawa

Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa


Prof. Dr. Simuh
(acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 )

Dari uraian judul seminar selintas di bagian depan, terbayang bahwa tidak ada benturan yang berarti antara Islam dan budaya Jawa. Bahkan antara kedua belah pihak nampak saling mendukung dan saling membutuhkan. Para penyebar Islam yang umumnya dipimpin para sufi tidak punya ilmu untuk memerintah dan tidak ingin merebut pemerintahan dari tangan raja-raja Jawa.

Mereka hanya membutuhkan perlindungan ataupun bantuan dari pemerintah. Demikian pula para raja-raja Jawa sangat membutuhkan dukungan umat Islam yang sejak akhir kerajaan Majapahit telah merupakan kekuatan yang nyata. Bagi masyarakat pesantren, agama adalah nilai nomor satu dan segalanya; sebaliknya para penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa, kedudukan dan kekuasaan politik yang nomor satu dan segalanya.

Bagi pendukung sastra budaya Kejawen yang berpusat dilingkungan kerajaan-kerajaan Jawa di Daerah pedalaman, agama adalah nomor dua. Agama apa saja tidak masalah asal bisa dimanfaatkan untuk memperkokoh kedudukan dan kekuasaan politik mereka. Maka sesudah Sultan Agung berhasil mematahkan kesultanan pesisiran yang mendapat dukungan masyarakat pesantren, segera menyadari perlunya menetapkan strategi budaya untuk menghubungkan dua lingkungan budaya. Yakni lingkungan budaya pesantren dengan sastra budaya agama yang berbahasa Arab; dan lingkungan budaya Kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat dalam lingkungan istana kerajaan-kerajaan Jawa. Strategi untuk dan membaurkan unsur-unsur Islam dalam budaya Jawa yang berpusat dalam budaya Jawa dimulai dengan mengganti perhitungan tahun Saka yang berdasar perjalanan matahari, menjadi perhitungan tahun Jawa yang berdasar perjalanan bulan, dan disesuaikan dengan perhitungan tahun Hijriyah. Mingguan Hijriyah yang terdiri dari tujuh hari, diintegrasikan dengan Mingguan Jawa yang terdiri dari lima harian, menjadi Senen Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Demikian nama bulan-bulan Jawa disesuaikan dengan nama bulan Hijriyah, menjadi Sura, Mulud, dan seterusnya.

Strategi yang dicanangkan Sultan Agung diatas ternyata menggairahkan para sastrawan Kejawen untuk menekuni pokok-pokok ajaran Islam untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur ajaran Islam untuk memperkaya pengembangan sastra Jawa. Dari ketekunan ini para sastrawan Jawa segera mengenal bahwa ajaran Islam telah berkembang cukup komplek. Dari aspek syariat formal yang sering mereka nilai kaku dan formalis legalis, ternyata juga memiliki aspek ajaran filsafat sufisme yang amat halus dan kaya-raya. Dan kemudian aspek filsafat mistik sufisme yang sangat menarik perhatian mereka, mereka sadap dan mereka olah untuk memperhalus dan memperkaya sastra budaya Jawa. Maka muncullah berbagai macam sastra suluk Jawa yang dituangkan dalam sekar macapatan, semisal "Suluk Quthub", "Suluk Sukma Lelana", "Suluk Seh Amongraga", dan lain-lainnya. Cerita-cerita serat babad, seperti "Babad Demak", "Babad Tanah Jawa", "Babad Tapel Adam", dan lain-lainnya, baik berbentuk prosa (gancar) ataupun puisi (sekar macapat), "Serat Centhini", dan lain-lainnya, yang umumnya diungkap dalam sekar macapat.

Kemudian dalam masa kebangkitan dan pembaharuan bahasa dan sastra Jawa halus pada zaman krida Kapujanggan Surakarta, pertumbuhan bahasa dan Sastra Jawa Baru mencapai puncak kesuburan dan keagungannya. Zaman itulah kelahiran bahasa dan sastra jawa baru atau Klasik. Yakni pada zaman sesudah pemerintah kolonial Belanda dengan tipu dayanya berhasil memecah kerajaan Mataram jadi tiga negara gurem, Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Dalam perpecahan itu melalui palihan negara inilah Belanda berpura-pura jadi penengah untuk menelanjangi seluruh kekuasaan sosial-politik dan pemerintahan raja-raja Jawa. Maka sejak masa perpecahan itu, walaupun para raja masih dibolehkan memakai sebutan Sunan atau Sultan, namun pada hakekatnya tinggal sebagai pensiunan pegawai pemerintah kolonial Belanda semata. Dan karena uang pensiun para raja waktu itu cukup lumayan, maka sebagai kompensasi diangkatlah para pujangga istana untuk mempertahankan wibawa dan kebesaran para raja dan keluarganya melalui karya sastra.

Maka timbullah kebangkitan dan pembauran sastra-sastra Jawa kuna digubah kembali dalam sastra Jawa baru dan diperhalus dengan unsur-unsur dari ajaran sufisme dalam Islam. Dari krida para pujangga dan sastrawan itulah mencuatnya sastra Jawa Baru sebagai puncak kebesaran sastra Jawa. Dikatakan puncak kebesaran sastra Jawa karena pada akhir zaman kapujanggaan bermulalah zaman baru (zaman ilmiah) dan dominasi bahasa Indonesia. Yakni zaman munculnya era Pujangga Baru yang meneriakan sastra budaya yang rasional, bukan zaman mistik lagi.

Jadi dalam konpensasi untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui karya sastra masa itu, para pujangga menggubah sastra-sastra Jawa kuna dan dibumbui dengan sadapan dan olahan unsur-unsur Islam Sufi dalam karyanya, agar karyanya bisa diterima baik masyarakat pesantren ataupun Kejawen. Kerja para sastrawan Kejawen sangat berjasa dalam pengislaman sastra dan bahasa Jawa. Maka bahasa dan sastra Jawa baru semacam "Serat Centhini", "Serat Wedhatama", "Serat Wulangreh", "Serat Sanasunu", "Babad Tanah Jawi", "Babad Demak", "Serat Ambiya", "Serat Menak Jayengrana", "Serat Paramayoga", "Wirid Hidayat Jati", berbagai macam sastra suluk, dan lain-lainnya, sangat berjasa dalam membuka dan mendekatkan hati masyarakat dengan pesantren yang sangat tertarik dan sangat bangga dengan Dongeng Walisanga, karya dalam cerita Babad Tanah Jawa, Babad Demak, yang sebenarnya hanya cerita-cerita rekaan para sastrawan Kejawen. Bahkan hingga dewasa ini para kiai belum bisa membedakan antara 'Sejarah' dengan 'Cerita-cerita Dongeng Walisanga' bikinan para sastrawan zaman Mataram di atas, apalagi masyarakat akar rumputnya. Pengaruh sufisme memang sangat menghambat pertumbuhan cara berfikir ilmiah.

Zaman penyebaran Islam ke Indonesia memang zaman dominasi Islam Sufi, yang ditandai dengan kebangkrutan dan kemunduran cara berfikir ilmiah di mana muncul pemeo bahwa pintu ijtihad telah ditutup, yang berarti tidak ada mujtahid lagi. Jadi para Kiai penyebar agama Islam di Jawa, disamping sangat sibuk mengkaji kitab-kitab kuning, juga kurang mengerti tentang masalah strategi kebudayaan. Bagi para Kiai pengikut tarekat yang penting adalah menyiarkan agama dan mengajar mengaji. Sebaliknya para sastrawan dan pujangga Kejawen, mereka ini harus berkarya, dan untuk mengembangkan sastra kejawen masa itu (zaman Islam) di samping dengan mengubah cerita-cerita Jawa Kuna, perlu pula diperkaya dan diperhalus dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur Islam di samping pelaksanaannya strategi kebudayaan, juga merupakan sumber bahan-bahan baru bagi karya-karya mereka. Strategi ini bisa dipandang sebagai peng-Islam-an warisan sastra Jawa agar dapat dipasarkan di lingkungan masyarakat pesantren.

Usaha ini berhasil mencuatkan perkembangan sastra Jawa Baru, di mana bahasa dan sastra Jawa menjadi semakin bergaya feodal dengan menciptakan bahasa Jawa ngoko (untuk klas rendahan), kromo untuk (menghormati orang-orang tua), dan kromo inggil (untuk menghormati klas priyayi). Penciptaan cerita mitos tentang Walisanga di atas, oleh para pujangga Kejawen berhasil pula menyodorkan 'mitologi Walisanga', sekaligus menyodorkan proses peralihan zaman, dari zaman Kabudan (zaman Majapahit, Hindu) ke zaman Kewalen (zaman Islam). Maka pada zaman Kewalen (zaman Islam), apabila ada priyayi atau orang bertapa yang memberi wangsit (wahyu) bukan dewa lagi, tetapi 'Sunan Kalijaga (Wali)'.

Wayang yang ceritanya bersumber dari serat 'Mahabarata' dan 'Ramayana' yang jelas-jelas Hinduisme saja dicoba untuk di-Islamkan. Misalnya dikatakan bahwa wayang itu bikinan para Wali, dan bahwa raja Ngamarta punya azimat yang sangat keramat, yaitu 'serat Kalimasada' (Kalimat Syahadat). Lebih aneh lagi cerita dalam 'Serat Paramayoga' karya Ranggawarsita. Di dalam serat ini diceritakan bahwa Iblis punya anak perempuan bernama Dajlah. Pada suatu ketika Dajlah disulap oleh Iblis, punya rupa seperti isteri nabi Sis, putra Nabi Adam. Kemudian isteri Nabi Sis disembunyikan Iblis, dan Dajlah bisa tidur bersama dengan Nabi Sis hingga mengandung, dan punya anak laki-laki dinamakan Sayid Anwar (berupa cahaya).

Karena Sayid Anwar punya darah Iblis, maka tidak patuh pada ayahnya, pergi mengembara ke Timur atau India, dan menurunkan para Dewa dalam Hinduisme (dalam cerita wayang).

Dengan cerita itu diterangkan bahwa para raja Jawa punya silsilah alur kekanan keturunan Nabi-nabi dalam Islam, sedang alur kekiri keturunan Dewa-dewa Hindu. Cerita ini adalah contoh kompensasi untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui karya sastra sesudah kekuasaannya ditelanjangi pemerintah kolonial Belanda.

Contoh lain misalnya dalam "Wedhatama - Mangkunegara IV" mengatakan:
Nulada laku utama / tumraping wong Tanah Jawi / wong Agung ing Ngeksi ganda / Panembahan Senapati / Kapati amarsudi / sudaning hawa lan nafsu / pinesu tapa brata / tanapi ing siang ratri / amamangun karyenak tyasing sasama // Wikan Mengkoning samodra / kederan wus den ideri / kinemat kamot ing driya / rinegem sagegem dadi / dumadya angratoni / nenggih Kangjeng Ratu Kidul / ndedel nggayuh nggegana / umarak marek maripih / sor parabawa lan Wong Agung Ngeksiganda // Prajanjine abipraya / saturan-turune wuri / mangkono trahing ngawirya / yen amasah mesu

budi / dumadya Glis dumugi / iya ing sakarsanipun / wong Agung Ngeksiganda / nugrahane prapteng mangkin / trah-tumareh darabe padha wibawa //

Artinya :
Bagi orang Jawa, contohlah laku yang luhur dari raja Mataram, Panembahan Senapati. Beliau ahli tapa brata, suka bertarak mengendalikan hawa-nafsu, yang dilakukan siang dan malam. Beliau suka menyenangkan hati sesama.


Panembahan Senapati telah menguasai rahasia apa yang ada di darat dan lautan telah tercakup dalam kalbu beliau. Maka Nyai Rara Kidul yang merajai segala makhluk halus di laut selatan tunduk di bawah kebesaran Panembahan Senapati, dan berjanji akan menjaga dan melindungi raja-raja keturunan Sang Panembahan.


Itulah Sang Panembahan yang memang keturunan priyayi luhur, bila menjalankan laku prihatin tentu segera terkabul segala keinginannya. Dan barakahnya mensawabi keturunan-keturunannya.

Ajaran di atas menunjukkan bahwa Mangkunegara IV berusaha agar orang-orang Jawa mengambil contoh tauladan laku utama kepada tokoh-tokoh orang Jawa sendiri, yakni Panembahan Senapati. Jadi tidak perlu jauh-jauh mencontoh kehidupan Nabi seperti halnya para santri yang kearab-araban. Jadi muatan politik untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui bidang sastra dan budaya Jawa sangat kentara.

Demikianlah keunikan interaksi antara Islam dan budaya Jawa. Dalam lingkungan budaya pesantren yang terjadi adalah peng-Islam-an secara alamiah unsur-unsur warisan kepercayaan dan tradisi-tradisi lama sehingga keduanya bisa hidup berdampingan dalam kalangan masyarakat pesantren tradisional. Sebaliknya adalah kalangan masyarakat Kejawen yang berpusat di istana-istana kerajaan Jawa, muncul kegairahan para pujangga dan sastrawan untuk mempertahankan dan memperhalus warisan sastra budaya lama dan di-Islamkannya sastra budaya Jawa, di samping karena kebutuhan untuk mencipta karya-karya baru, juga untuk menyesuaikan dengan tuntutan peralihan Zaman Kabudan ke Zaman Kewalen. Sastra budaya Jawa yang telah dipoles dengan unsur-unsur Islam (telah di-Islam-kan), penulis sebut sebagai Sastra Budaya Islam Kejawen (Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa menamakannya Sistem Budaya Agami Jawi). Sastra Budaya Islam kejawen ini sangat besar pengaruhnya lantaran dapat mengakrabkan masyarakat Kejawen dengan agama Islam dan menjelmakan jadi satu varian Islam Kejawen, di samping varian Islam Santri. Jadi masyarakat Kejawen sebelum sempat di-Islam-kan para santri sudah di-Islamkan para sastrawan Jawa Melalui sastra budaya Islam Kejawen.

Menurut Koentjaraningrat :"Keyakinan orang Jawa yang beragama Agami Jawi terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal itu dituangkan dalam suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos" (Koentjaraningrat, 1984:322).

Seterusnya Koentjaraningrat mengatakan sebagai berikut :

'Sistem keyakinan Agami Jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah'

Dalam hampir setiap ritus dan upacara, pada waktu mengadakan pengorbanan, sajian, atau slametan, seorang Jawa mengucapkan nama Allah, mereka juga mengucapkan nama Nabi Muhammad, yang dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai berikut: "Kangjeng Nabi Muhammad Ingkang Sumare Ing Siti Medinah …"

Kesusastraan yang lebih disukai oleh para penganut Agami Jawi adalah kesusastraan Islam yang mengandung unsur-unsur mistik atau yang bersifat kepahlawanan, seperti cerita-cerita Menak (lihat halaman 290) dan cerita-cerita mengenai peristiwa-peristiwa khusus dalam kehidupan Nabi Muhammad, seperti cerita mengenai lahirnya, pernikahannya dengan Dewi Ngatijah (‘Adijah) di Mekah, mengenai hijrahnya, perang-perangnya, dan terutama mengenai kenaikan Nabi Muhammad ke Surga. Semua cerita itu termaktub dalam buku Serat Muhammad, sebuah buku puisi dengan syair-syair yang harus dibaca dengan lagu macapat.

Buku itu sangat banyak dibaca dan dimiliki penduduk desa di Jawa Tengah dan Timur sejak buku itu diterbitkan pada tahun 1891 (Koentjaraningrat, 1984 : 324-325).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa warisan Islam Kejawen ke-Islamannya masih pasif, belum sadar menjalankan shalat lima waktu, namun telah merasa berada di bawah panji-panji agama Islam. Yakni mereka telah di-Islamkan oleh lingkungan sastra budaya Islam Kejawen kreasi para pujangga Kejawen sendiri, sebelum ke-Islamannya mereka dimantapkan oleh lingkungan budaya pesantren. Itulah keunikan interaksi Islam dan Budaya Jawa, yakni terjadi proses saling menunjang dan saling membutuhkan.

Dalam pemerintahan Presiden Soekarno yang dengan konsep politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) berusaha meminggirkan politik Islam; demikian pula periode pertama politik Presiden Soeharto yang berusaha meminggirkan kekuatan politik Islam dengan asas tunggalnya, para pendukung Islam Kejawen masih nampak takut-takut memantapkan ke-Islaman mereka. Namun kemudian dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia tahun 1990M, dan Soeharto butuh dukungan kekuatan Islam, muncul kegairahan penganut Islam Kejawen untuk memantapkan ke-Islamannya dengan shalat lima waktu

0 comments:

Posting Komentar